PageNavi Results No.

Monday, August 7

USHUL FIQIH "Lafadz Musytarak, 'Am dan Khas" Beserta Penjelasannya



LAFADZ MUSYTARAK, 'AM DAN KHAS
A.    Pendahuluan
Salah satu unsur penting yang digunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji Islam adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah yang diperoleh melalui dalil-dalil yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh akan diketahui nash - nash syara’ dan hukum - hukum yang ditunjukkannya. Di antara kaidah – kaidah Ushul Fiqh yang penting diketahui adalah Istinbath dari segi kebahasaan, salah satunya adalah lafadz Mustarak, ‘Am, dan Khas. Makalah ini akan membahas tentang definisi, jenis-jenis dan dilalah dari lafadz musytarak, ‘am
dan khas secara lebih mendalam.
B.     Perihal lafadz Musytarak, ‘Aam, dan Khash
1.    Lafazh Musytarak
Umumnya ulama ushul, menempatkan lafazh musytarak ini pada kelompok al-khâsh,dan al-‘âm yaitu dilihat dari segi penetapan penempatan lafazh bagi suatu makna. Adapun yang dimaksud dengan lafazh musytarak sebagaimana dijelaskan oleh Abû Zahrahadalah:

الـمـشـتـرك هـواللـفـظ الذى يـدل عـلى مـعـنـيـيـن أوأكـثـر بـوضـع مخـتـلـف
Musytarak ialah suatu lafaz yang menunjukkan kepada pengertian ganda atau lebih dengan penggunaan berbeda.
Lafazh disebut istytirak disyaratkan dua hal, yaitu: terdapat beberapa penerapan suatu lafaz dan juga terdapat beberapa pengertian dari lafaz, sehingga suatu lafaz diterapkan dua kali atau lebih untuk dua pengertian atau lebih. Contohnya adalah lafazh mata, dimana memiliki pengertian bahasa yaitu mata yang melihat, mata air, mata-mata, matahari, mata uang, dan yang lainnya. Akan tetapi ketika lafaz mata itu dilafazkan, maka tidaklah dimaksudkan keseluruhan pengertian tersebut, akan tetapi yang dimaksud adalah salah satunya.


2.    Lafadz ‘Aam
Lafadz ‘Amm ialah suatu lafadz yang menunjukkan satu makna yang mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.
Adapun dalam pendapat ulama’ Hanafiyah mendefinisikan lafal ‘amm sebagai berikut :
كل لفظ ينتظم جمعا سواء آكان بالفظ او بالمعنى
Setiap lafadz yang mencakup banyak, baik secara  lafad maupun makna. (Al- Badzdawi :1:33)
Menurut ulama syafi’iyah , diantaranya al-ghozali berpendapat bahwa lafadz ‘amm adalah :
الفظ الوحد الدال من جهة واحدة على شيئين فصاعدا
Satu lafad yang dari satu segi menunjukan dua makna atau lebih.
Menurut Al – Badzdawi :
الفظ المستغرف جميع ما يصلح له بوضع واحد
Lafadz yang mencakup semua yang cocok untuk lafal tersebut dengan satu kata.
Contoh lafadz amm seperti kata-kata Al - insani dalam firman Allah yang artinya: "Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam keadaan rugi, kecuali mereka yang beriman dan mengerjakan amal saleh."
Kata-kata Al - Insani yang artinya manusia dalam ayat ini meliputi dan mencakup seluruh makhluk yang disebut  manusia. (Zainal Abidin.1975.68)
3.    Lafadz khash
Lafadz khash adalah lafadz yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu arti khusus, misalnya satu orang atau hal atau barang tertentu, seperti si Ahmad itu, bangku itu.
Lafadz khusus ini ada kalanya dipergunakan untuk seorang, barang, atau hal tertentu seperti; Abdullah, radio, atau puasa ramadhan. Dan adakalanya kalimat ini digunakan untuk dua orang atau barang seperti dua orang suami istri. Lafadz khusus ini dipergunakan juga untuk lebih dari dua orang yang tidak dibatasi seperti lafadz ar-rijaal (beberapa orang laki-laki atau tiga orang laki-laki).
Dengan demikian, yang dimaksud dengan khas ialah lafadz yang tidak meliputi satu hal tertentu tetapi juga dua, atau beberapa hal tertentu tanpa ada batasan, namun tidak mencakup semua dan hanya berlaku untuk sebagian tertentu.
C.    Dilalah Lafadz Musytarak, ‘Aam Dan Khash
1.      Dilalah Lafadz Musytarak
Para ulama Ushul menyatakan, bahwa pengertian isytirak berbeda dengan pengertian asli. Dengan kata lain, suatu lafadz yang tarik menarik antara kecenderungan isytirak dengan kecenderungan infirad (satu pengertian), maka yang dominan dalam dzhann ialah pengertian infirad, dan kecenderungan pengertian isytirak-pun menjadi tidak kuat. Dengan kata lain, dengan hilangnya pengertian isytirak, maka terdapat pengertian yang lebih kuat. Karena itu, bila terdapat di dalam al-Qur’an suatu lafadz yang memiliki kecenderungan isytirak dan tidak, maka yang diperkuat adalah ketiadaan isytirak.
     Kemudian, apabila terdapat lafadz isytirak, seorang mujtahid wajib menguatkan salah satu pengertiannya, dengan qarinah lafzhiyah atau haliyah yang merperkuat makna yang dimaksud. Yang dimaksud dengan qarinah lafzhiyyah ialah apa yang dinyatakan orang yang menyatakan lafaz tersebut; sedangkan qarinah haliyah ialah sebagaimana kebiasaan orang Arab ketika mendapat suatu nash dalam permasalahan tertentu.
     Dalam hal penetapan dilâlah lafadz musytarak dan pengamalannya, para ulama telah menetapkan jika ditemukan di dalam nash (al-Qur`an dan Sunnah) makna lughawi  dan makna istilah, maka yang dipegangi adalah makna istilah syar‘î. Jika lafaz musytarak itu mengandung beberapa makna lughawî, maka mujtahid wajib  melakukan ijtihad untuk menentukan arti yang dimaksud. Sebab, jelas tidak seluruh arti yang dikehendaki oleh lafaz nash tersebut (oleh syar‘î), melainkan salah satu saja dari beberapa arti itu.
     Sementara itu, Wahbah Zuhailî menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan musykil ialah suatu lafaz nash yang tersembunyi, artinya yang disebabkan oleh lafadz itu sendiri. Oleh karena itu, untuk mengetahui maknanya diperlukan penelitian yang mendalam dengan memperhatikan qarînah yang dapat menjelaskan maksudnya. Sebagai contoh, misalnya firman Allah:
والمطلقـات يـتــربصن بأنـفـسـهـن ثـلاثـة قـروء...
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (beriddah) dengan tiga kali suci… (QS. Al-Baqarah:229)
Dalam ayat di atas terdapat lafadz qurû` (قـرؤء) yang mengandung dua arti atau ganda yaitu: suci dan haid. Oleh karena itu wanita yang ditalak oleh suami mereka itu apakah ber-‘iddah dengan tiga kali suci atau tiga kali haid.
Adapun yang menyebabkan kemusykilan terhadap lafaz nash adalah karena lafaz itu musytarak, yaitu suatu lafaz nash yang mengandung beberapa arti sedangkan shighat-nya sendiri tidak menunjukkan kepada makna tertentu.
2.      Dilalah Lafadz ‘Amm
        Para ulama sepakat bahwa lafadz ‘Amm yang disertai qarinah (indikasi) yang menunjukkan penolakan adanya takhsis adalah qath’i dilalah. Mereka pun bersepakat bahwa lafadz ‘amm yang disertai qorinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksudnya itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus pula.
        Menurut jumhur ulama’ (malikiyah, syafi’iyyah, dan hanabilah), dilalah ‘amm adalah dzhanni. Mereka beralasan, dilalah ‘amm itu termasuk bagian dilalah dzahir, yang mempunyai kemungkinan di-takhsis. Dan kemungkinan ini pada lafadz ‘amm banyak sekali. Selama kemungkinan tetap ada, maka tidak dapat dibenarkan menyatakan bahwa dilalahnya qath’i.
        Dalam hal penggunaan lafadz 'aam sebagai dalil syar’i, ada dua hal yang harus diperhatikan:
a.       Lafadz amm setelah di takhsis
Para ulama’ sepakat, bahwa tidak diperbolehkannya menggunakan lafadz 'amm sebagai dalil syar’i sebelum dicari terlebih dahulu ada dan tidak adanya takhsis, kaidahnya adalah :


ما من عام الاخصص
Tidak ada lafadz yang umum kecuali harus di takhsis.
Serupa dengan kaidah ini adalah :
العمل بالعام قبل البحث عن الحصص لا يجوز
Mengamalkan lafadz ‘aam sebelum dicari mukhosisinya tidak diperkenankan.
Oleh karenanya maka untuk memanfaatkan dalil ‘aam itu harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu ada tidaknya mukhosisnya. Apabila tdak ada mukhosisnya maka boleh berpegang pada keumuman dalil ‘aam itu sehingga tetap terus berlaku arti keumuman itu maka hukumnya berarti umum.
Adapun dalil ‘aam itu setelah ditakhsis tetap berlaku bagi satuan-satuan lain yang tidak ditakhsis, kaidahnya dalah:
العام بعدالنخصيص حجلة في البا قلى
Suatu ketentuan ‘aam setelah ditakhsis tetap berlaku sisa-sisa yang tidak dikhususkan.
Suatu ketentuan hukum yang sudah berlaku misalnya perempuan yang dicerai itu harus beriddah tiga quruu’ khusus yang hamil iddahnya empat bulan sepuluh hari, berarti yang tidak hamil, baik yang dicerai mati, cerai hidup, cerai sakit, dan sebagainya (dalam arti umum), tetap ber-'iddah tiga quru’.
3.      Dilalah Lafadz Khas
Dilalah khas menunjuk kepada dilalah qath'iyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkannya adalah qath'iy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain. Misalnya, firman Allah:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ
Tetapi jika ia tidak menemukan binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji. (Al-Baqaarah:196)
            Lafadz tsalatsah (tiga) dalam ayat di atas adalah khas, yang tidak mungkin diartikan kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafadz itu. Oleh karena itu dilalah maknanya adalah qath'iy dan dilalah hukumnya pun qath'iy. Akan tetapi, apabila ada qarinah, maka lafadh khas harus ditakwilkan kepada maksud makna yang lain. Sebagai contoh hadits Nabi yang berbunyi:
في كل أربعين شاة شاة
Pada setiap empat puluh kambing, wajib zakatnya seekor kambing.
            Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing, keduanya adalah lafadz khas. Karena kedua lafadz tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadz itu sendiri. Dengan demikian, dilalah lafadz tersebut adalah qath'iy.
Tetapi menurut Ulama Hanafiyah, dalam hadits tersebut terdapat qarinah yang mengalihkan kepada arti yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat adalah untuk menolong fakir miskin. Pertolongan itu dapat dilakukan bukan hanya dengan memberikan seekor kambing, tetapi juga dapat dengan menyerahkan harga seekor kambing yang dizakatkan.
Lafadz khas yang ditemui dalam Nash diartikan sesuai dengan arti sebenarnya, selama tidak ditemukan dalil yang memalingkannya pada arti lain. Contohnya, hukum yang dijatuhkan kepada orang yang menuduh berbuat zina adalah delapan puluh puluh kali dera, tidak poleh lebih dan tidak boleh kurang. Namun apabila ditemukan dalil yang dapat memalingkan artinya pada arti lain, maka hukuman tersebut dilaksanakan sesuai dengan dilalah dari bukti itu. Seperti halnya dalam hadits yang menerangkan bahwa untuk setiap empat puluh ekor kambing dikeluarkan zakatnya seekor dan setiap orang mengeluarkan zakat fitrahnya satu sha’ gandum atau kurma. Madzhab Hanafi menganggap boleh menyerahkan seekor kambing atau jumlah uang seharga seekor kambing. Demkian pula dalam zakat fitrah, boleh menyerahkan satu sha’ gandum atau uang seharga satu sha’ gandum atau kurma. Hal ini karena zakat ditujukan untuk kepentingan fakir miskin, yang pada suatu waktu lebih memerlukan barang daripada uang dan pada waktu lainnya lebih memerlukan uang daripada barang. Jadi, lafadz yang mutlaq dilaksanakan sesuai dengan artinya dan kalau ia di- qaidkan sesuai pula dengan qaidnya.
Perbedaan Pendapat Akibat Ke-Qoth'iy-An Dilalah Khas :
a.       Menurut Ulama Hanafiah
Lafadz khas tidak memerlukan penjelasan dari hadits, sebab dilalah khas tidak memerlukan penjelasan. Jika ada nash lain yang bertentangan dengan lafadz khas tersebut maka dianggap sebagai nasakh lafadz khahs.
b.      Menurut Jumhur Ulama
Bahwasanya lafadz khas itu dilalahnya qath’i namun  tetap mempunyai kemungkinan perubahan makna, sehingga apabila terdapat naskh itu dipandang sabagai penjelasan terhadap lafadz khas itu. Perbedaan tersebut contohnya  pada masalah ruku’:
واركعوامعاراكعين
Ruku’lah bersama orang orang ruku’.
Ulama’ Hanafiah memandang bahwasanya ruku’ dalam sholat itu sebagai lafadz khas untuk suatu perbuatan yang maklum yaitu condong dan berdiri tegak tanpa tuma’ninah.
Adapun hadits yang memerintahkan keharusan tuma’ninah adalah :
قم فصل لانك لم تصل
Berdirilah dan sholatlah karena engkau belum sholat.
Disini ulama’ hanafiah berpendapat bahwa tuma’ninah bukan syarat sahnya sholat , menurut mereka seandainya itu syarat sahnya sholat berarti merupakan penambahan atas lafadz khas Al-Quran yang jelas.
Sedangkan menurut jumhur memandang lafadz khas itu mempunyai kemungkinan adanya penjelasan atau perubahan, maka mereka memandang lafadz khash itu sebagai lafadz mujmal. Oleh karena itu mereka menerima kemungkinan adanya penambahan atas lafadz khas yang terdapat dalam Al-Quran dengan hadits ahad yang merupakan penjelasanya. (Achmad Syaf’I.2007,190)
D.    Bentuk (Shigat) Lafadz 'Aam
Lafadz-lafadz yang menunjukkan ’Amm  (umum):
1.    Lafadz kullun, jami’un, kaffah, ma’sya  (artinya seluruhnya). Contoh :
كُل نفسٍ ذائقةُ الموتِ
Tiap-tiap yang berjiwa, akan merasakan mati. (QS. Al- Imran : 185)
2.    Isim istifham, ialah man (siapa), ma (apa), aina, ayun (dimana), dan mata (kapan), misalnya dalam lafadz Ma (apa) :
ماسلككم فى سقر
Apa sebab kamu masuk neraka ?. (QS. Al-Muddasir : 42)
3.    Isim syarat, seperti  man (barangsiapa), ma (apasaja),  dan ayyun  (yang manasaja). Misalnya dalam lafadz ayyun :
اياما تدعوا فله الاسماء الحسنى
Dengan apasaja kamu seru dia, maka ia mempunyai nama-nama yang terbaik (QS. Al-Isra’:110)
4.    Isim mufrad yang ma’rifat dengan alif lam (al atau idhafah). Contoh :
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. Al-Baqarah :275)
5.    Jama’ yang di ta’rifkan (ma’rifat) dengan alif lam atau dengan idhafah. Misalnya:
السارق والسارقة فا قطعوا ايديهما
Pencuri laki-laki dan perempuan (tanpa kecuali) hendaknya dipotong tangannya.
6.    Isim nakirah  dengan susunan nafi (meniadakan atau mengingkari). Misalnya:
لا وصية لوارس
Berarati secara umum, ahli waris itu tidak boleh menerima wasiat untuk warisannya.
7.    Isim mausul (alladzi, alladziina, allatii, maa dan sebagainya). Contoh :
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا
Sesungguhnya orang-orang yang makan harta anak-anak yatim dengan aniaya, benar-benar orang- orang itu makan api pada perut mereka. (QS. An-Nisa’ :10).
E.     Kesimpulan
Musytarak adalah lafadz yang diletakkan untuk beberapa makna yang bermacam-macam dengan penetapan yang bermacam-macam.
‘Aam menurut bahasa artinya merata, yang umum; dan menurut istilah adalah "Lafadz yang memiliki pengertian umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadz itu". Dengan pengertian lain, ‘am adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu dengan tidak terbatas.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa dilalah al-'am merupakan dilalah qat'iyah sehingga takhshis tidaklah terlalu penting. Sedangkan jumhur Syafi'iyah berpendapat dilalah al-'am bersifat dzanni sehingga diperlukan takhshis.
Lafadz-lafadz yang menunjukkan ’Amm yaitu diantaranya Lafadz kullun, jami’un, kaffah, ma’sya, Isim istifham, Isim syarat, dan lain sebagainya.
Khas pengertiannya adalah “Suatu lafadz yang dipasangkan pada suatu arti yang sudah diketahui (ma’lum) dan manunggal”. Atau pengertian yang lain adalah “Setiap lafadz yang dipasangkan pada suatu arti yang menyendiri, dan terhindar dari makna lain yang (musytarak). (Al-Bazdawi).
Dilalah khas menunjuk kepada dilalah qath'iyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkannya adalah qath'iy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain.

                                           


DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, Zen. 2009 . Ushul Fiqh. Yogyakarta: Teras.
Sya‘bân, Zakî al-Dîn. Ushûl al- Fiqh al-Islâmî.
Syafe’i, Rachmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Cv Pustaka Setia.
Umam, Khoirul. Ahyar Aminudin. 2001 . Ushul Fiqh II . Bandung: Pustaka Setia.
Zuhailî, Wahbah. 1986 . Ushûl al-Fiqh al-Islâmî  jil. I. Damaskus: Dâr al-Fikr.
Diakses melalui :
dan.html

Related Posts:

0 comments:

Post a Comment