PageNavi Results No.

Monday, August 7

USHUL FIQIH "Ijma', Qiyas dan 'illat Hukum"



IJMA’ QIYAS DAN ILLAT HUKUM

    A.    Pendahuluan
Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak lepas dari peranan syari’at atau hukum-hukum seperti sholat, puasa, jual beli dan lain sebagainya.Semua itu membutuhkan hukum agar kita tidak salah arah dalam landasan agama.
Untuk mengetahui hukum-hukum syari’at agama, para ulama telah melakukan ijtihad untuk mengetahui hukum yang belum ada dalam Al-Qur’an dan hadist. Dalam era sekarang, banyak kita jumpai hal-hal yang pada zaman Rasul SAW  tidak terjadi, untuk mengetahui bagaimana hukumnya hal tersebut, maka dibutuhkan kesepakatan para ulama yaitu ijma’, qiyas dan illat (hukum).

 
   B.     Ijma’
1.      Pengertian Ijma’
Secara bahasa, ijma’ mempunyai arti yaitu: sepakat, setuju dan sependapat.Sedangkan Secara istilah ulama ushul fiqih,pengarang kitab fushulul bada’i berpendapat bahwa kesepakatan semua mujtahid dari ijma’ umat Nabi Muhammad dalam satu masa setelah beliau wafat.
2.      Fungsi Ijma’
Meski Al-Qur’an sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tetapi tidak semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al-Qur’an maupun hadist.Selain itu perbedaan keadaan saat turunya Al-Qur’an dengan kehidupan modern.Sehingga jika terdapat masalah baru maka diperlukan aturan-aturan dalam kehidupan sehari-hari.Jadi, saat itulah umat Islam memerlukan Ijma’ sebagai sumber hukum yang ketiga setelah Al-Qur’an dan hadist.
3.      Syarat-syarat Ijma’
a.       Kesepakatan dilakukan oleh seluruh mujtahid.
b.      Ijma’ dilakukan setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
c.       Ijma’ berkaitan dengan hukum syara’.
d.      Para mujtahid harus umat Nabi Muhammad SAW.[1]
4.      Macam-macam Ijma’
1.)    Ijma’ Sharih
Yaitu ijma’ yang dikeluarkan oleh para mujtahid secara lisan maupun tulisan yang terdapat persetujuan dari mujtahid pada zamannya. Ijma’ ini disebut juga ijma’ bayani atau ijma’ qothi.
2.)    Ijma’ sukuti atau ijma’ ghair sharih.
 Yaitu ijma’ yang dikeluarkan oleh para mujtahid dengan cara diam tidak mengeluarkan pendapat. Ijma’ sukuti akan dikatakan sah apabila memenuhi beberapa syarat di antaranya:
a)      Diamnya para mujtahid betul-betul tidak menunjukan adanya kesepakatan atau penolakan.
b)      Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama, yang bisa dipakai untuk memikirkan permasalahan.
c)      Permasalahan yang difatwakan oleh para mujtahid tersebut adalah maslah ijtihad yang bersumber dari dalil-dalil yang bersifat zhanni. Menurut Imam Syafi’i dan kalangan Malikiyyah ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan landasan pembentukan hukum, dengan alasan diamnya sebagian ulama mujtahid belum tentu menandakan setuju, bisa jadi takut dengan penguasa atau sungkan menentang pendapat mujtahid yang punya pendapat karena dianggap senior.
Hanafiyah menyatakan ijma’ sukuti sah jika digunakan sebagai landasan hukum, karena diamnya mujtahid dipahami sebagai persetujuan, karena jika mereka tidak setuju dan memandangnya keliru merka harus tegas menentangnya. Jika tidak menentang dengan tegas, artinya setuju. [2]
5.      Kehujjahan Ijma’[3]
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ adalah merupakan hujjah yang wajib diamalkan, karena ijma’ merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan hadist. Dalil-dalil yang mendukung pendapat jumhur ulama adalah:
1)      Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 115
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barang siapa yang menentang Rasul SAW sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam”.
Hal ini berarti wajib mengikuti jalan-jalan orang yang beriman, yaitu para mujtahid yang menyepakati suatu hukum syara’.
2)       Hadist-hadist Nabawi yang menunjukan kemaksuman umat Islam dari kesalahan dan kesesatan, yaitu hadist yang saling menguatkan satu dengan lainnya, yang telah diterima umat, mutawatir dan dapat dipakai sebagai hujjah. Hadist-hadist itu adalah:
لاَتَجْتَمِعُ اُمَّتِى عَلَى ضَلاَ لَةٍ
“Umatku tidak akan berkumpul (ijma’) untuk suatu kesalahan
.مَنْ فَا رَ قَ الجَمَا عَةَ وَ مَا تَ
“Barang siapa memisahkan diri dari dari jamaah, lalu mati, maka matinya itu didalam keadaan jahiliyah.”
3)      Bahwa kesepakatan para mujtahid di atas satu pendapat, meskipun akal dan pengetahuan mereka berbeda-beda, menujukan bahwa pendapat ini jelas kebenarannya. Sebab seandainya ada dalil yang menyangkal tentang pendapat mereka maka terjadilah perselisihan di antara mereka. Adapun contoh hukum syara’ yang didasari oleh ijma’ adalah:
a)      Pengangkatan Abu Bakar Ash-Siddiq sebagai khalifah menggantikan Rasulullah SAW.
b)      Pembukuan Al-Qur’an.
c)      Menentukan awal bulan ramadhan dan bulan syawal

   C.    Qiyas
1.      Pengertian Qiyas
     Secara bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dan si B, kerena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Sedangkan menurut ulama ushul fiqh Qiyas berarti menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.
2.      Dasar hukum qiyas
Mengenai dasar-dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah:
a.      Al-quran
       Allah Swt memberi petunjuk dalam penggunaan qiyas dengan cara menyamakan dua hal sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. Yasiin (36) : 78-79:
وَضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَنَسِيَ خَلْقَهُ قَالَ مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ
78. Dan ia membuat perumpamaan bagi kami, dan ia lupa kepada kejadiannya : ia berkata “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh?”
قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ
79. Katakanlah :“Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya yang pertama kali, dan Dia Maha mengetahui tentang segala makhluk”.
       Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menyamakan kemampuannya menghidupkan tulang belulang yang telah berserakan di kemudian hari dengan kemampuannya menciptakan tulang belulang pertama kali.
b.      Al-hadist
     Di antara hadist yang dikemukan jumhur ulama sebagai argumentasi bagi penggunaan qiyas adalah :
“Bagaimana (cara) kamu menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu’adz menjawab : Akan aku tetapkan berdasar Al-quran. Jika engkau tidak memperolehnya dalam Al-quran? Mu’adz berkata : Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperolehnya dalam sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab : Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu’adz berkata) : Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata : Segala puji bagi Allah yang telahmemberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya”. (HR. Ahmad Abu Daud dan At-Tirmidzi).
          Dari hadist tersebut dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat Al-quran dan hadist yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dilakukan dalam berijtihad itu, salah satunya yaitu menggunakan qiyas.
c.       Perbuatan sahabat
Para sahabat Nabi Saw banyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum suatu suatu peristiwa yang tidak ada nashnya.Seperti alasan pengangkatan khalifah Abu Bakar. Menurut para sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah disbanding sahabat-sahabat yang lain, karena dialah yang disuruh Nab Saw mewakili beliau sebagai imam shalat di waktu beliau sedang sakit. Jika Rasulullah Saw ridha Abu Bakar mengganti beliau imam shalat, tentu beliau lebih ridha jika Abu Bakar menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan.
d.      Akal
Tujuan Allah Swt menetapkan syara’ bagi kemaslahatan manusia.Setiap peristiwa ada yang diterangkan dasarnya dalam nash da nada pula yang tidak diterangkan. Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash atau tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya ada yang ‘illatnya sesuai benar dengan ‘illat hukum dari peristiwa yang ada nash sebagai dasarnya. Menetapkan hukum dari peristiwa yang tidak ada nash sebagai dasarnya ini sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan berdasarkan nash, karena ada persamaan ‘illatnya diduga keras akan memberikan kemaslahatan kepada hamba. Sebab itu tepatlah kiranya hukum dari peristiwa itu ditetapkan dengan cara Qiyas.
3.      Rukun dan syarat qiyas
Adapun rukun qiyas adalah sebagai berikut :
1)      Ashl berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukum berdasarkan nash. Ashl disebut juga maqis ‘illaih (yang menjadi ukuran), atau musyabbabih (tempat menyerupakan), atau mahmu alaih (tempat membandingkan).
2)      Far’u berarti cabang, yaitu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar fara’ disebut juga maqis (yang menjadi ukuran), atau musyabbabih (tempat menyerupakan), atau mahmu alaih (tempat membandingkan), seperti pengharaman wisky dengan mengkqiyaskan dengan khamar.
3)      Hukum Ashl adalah hukum dari asal yang telah ditetapkan berdasarkan nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara’ seandainya ada persamaan ‘illatnya. Seperti keharaman minuman khamar.Adapun hukum yang ditetapkan far’u pada dasarnya merupakan hasil dari qiyas dan karenanya tidak termasuk hukum.
4)      ‘Illat adalah suatu sifat yang ada pada ashl dan sifat itu yang dicari pada fara’. Seandainya sifat yang ada pada fara’ maka persamaan sifat yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara’ sama dengan hukum ashl.
  Setelah diterangkan ruang-rukun-rukun qiyas, berikut akan diterangkan syarat-syarat dari masing-masing rukun qiyas tersebut.
Ashl dan fara’
          Telah diterangkan bahwa ashal dan fara’ berupa kejadian atau peristiwa. Yang pertama  mempunyai dasar nash, sehingga belum ditetapkan hukumnya. Oleh sebab itu ashal disyaratkan berupa peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Sedangkan fara’ berupa peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Hal  ini berarti bahwa seandainya terjadi qiyas, kemudian dikemukan nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya, maka qiyas itu batal dan hukum fara’ itu ditetapkan berdasar nash yang baru ditemukan itu.
Hukum ashal
          Ada beberapa syarat yang diperlukan bagi kaum ashl yaitu :
a)      Hukum ashl itu hendaklah hukum syara’ yang amali yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Hal ini diperlukan karena yang akan ditetapkan itu adalah hukum syara’. Sedangkan sandaran hukum syara. Itu adalah nash. Atas dasar yang demikian, maka jumhur ulama tidak berpendapat bahwa ijma’ tidak boleh menjadi sandaran qiyas. Mereka menyatakan bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan, tidak mempunyai sandaran, selain dari kesepakatan dari mujtahid. Karena hukum yang ditetapkan secara ijma’ tidak dapat diketahui dengan pasti, sehingga tidak mungkin mengqiyaskan hukum syara’ yang amali kepada hukum yang mujma’ ilaih. Asy-Syaukani membolehkan ijma’ sebagai sandaran qiyas.
b)   Hukum ashl harus ma’qul al ma’na, artinya pensyari’atannya harus rasional.
c)   Hukum ashl itu tidak merupakan hukum pengecualian atau hukum yang berlaku pada kejadian atau peristiwa yang lain.
Hukum ashl macam ini ada dua macam, yaitu :
1)      ‘illat hukum itu hanya ada pada hukum ashl saja, tidak mungkin pada yang lain. Seperti diperbolehkannya mengqashar shalat bagi yang musafir. ‘illat yang mask akal dalam hal ini adalah untuk menghilangkan kesulitan, tetapi Al-quran dan Al-hadist bahwa ‘illat itu bukan karena adanya safar (perjalanan).
2)      Dalil Al-quran dan Al-hadist menunjukkan bahwa hukum ashl itu berlaku khusus tidak berlaku pada kejadian atau peristiwa yang lain. Seperti beristri lebih dari empat hanya dibolehkan bagi nabi Muhammad SAW saja dan istri beliau itu tidak boleh kawin dengan laki-laki lain walupun beliau telah meninggal dunia, dan sebagainya.
4.      Macam-macam qiyas
a)      Qiyas Aula Qiyas ini juga dinamai awlawi, qiyas qhat’I, yaitu suatu qiyas yang ‘illatnya itulah yang mewajibkan hukum, atau dengan kata lain yaitu mengqiyaskan sesuatu dengan sesuatu yang hukumnya telah ada, namun sifat/illatnya lebih tinggi dari sifat hukum yang telah ada. Contohnya keharaman hukum memukul orang tua, diqiyaskan kepada memakinya saja sudah haram.
b)      Qiyas Musawi adalah ‘illat qiyas suatu hukum sama, seperti halnya keharaman hukum membakar harta anak dengan memakan harta hartanya.illat keduanya sama-sama menghilangkannya.
c)      Qiyas Adna atau Adwan adalah mengqiyaskan sesuatu yang kurang patut menerima hukum yang diberikan kepada sesuatu yang patut menerima hukum itu. Contoh mengqiyaskan apel pada gandum dalam hal berlakunya riba fadhal karena keduanya mengandung ‘illat yang sama, yaitu sama-sama makanan.
d)     Qiyas Dalalah alalah yaitu menetapkan hukum karena ada persamaan dilalat al-hukm (penunjukan hukumnya).Seperti kesamaan kewajiban zakat untuk harta anak yatim dan harta orang dewasa.Karena keduanya sama-sama bisa tumbuh dan berkembang.
e)      Qiyas Syibh yaitu terjadinyakeraguan dalam mengqiyaskan, ke asal mana illat ditujukan kemudian harus ditentukan salah satunya dalam rangka penetapan hukum padanya.Seperti pada kasus hamba yang dibunuh, dirinya di qiyaskan kepada seorang manusia sebagai anak cucu Adam, atau barang yang diperjualbelikan.
f)       Qiyas Al-aksi adalah yang tidak adanya hukum karena tidak adanya ‘illat atau menetapkan lawan hukum sesuatu bagi yang mana keduanya memiliki hukum yang berlawanan tentang hal ini
D.    Illat
1.      Pengertian ’Illat.
‘Illat adalah sifat hukum yang terdapat dalam al-ashlu ( peristiwa asal ), dan merupakan benang merah penghubung antara al-ashlu dengan al-far’u ( peristiwa cabang yang akan dikiyaskan ), seperti “al-iskâr”. H.A Djazuli mendefinisikan ‘illat sebagai berikut, “ Suatu sifat yang nyata dan tertentu yang berkaitan atau munasabah dengan ada atau tidak adanya hukum. Disini Djazuli menyebut ‘illat itu sebagai suatu sifat yang mudah diamati dan munasabah untuk dipautkan adanya atau tidak adanya hukum kepada sifat tersebut. Sehingga dapat dipahami bahwa ‘illat adalah :
a.       Suatu hikmah yang menjadi motivasi dalam menetapkan hukum, berupa pencapaian kemaslahatan atau menolak kemudaratan. Misalnya tecapainya berbagai manfaat bagi orang-orang yang melakukan transaksi jual beli, karena jual beli itu dibolehkan. Terpeliharanya keturunan yang diakibatkan oleh diharamkannya perzinaan dan terpeliharanya akal manusia disebabkan diharamkannya meminum khamar.
b.      Sifat zahir yang dapat diukur yang sejalan dengan sesuatu hukum dalam mencapai sesuatu kemaslahatan baik berupa manfaat untuk manusia maupun menghindari kemudaratan bagi manusia, karena menolak dan menghindari kemudaratan bagi manusia termasuk suatu kemaslahatan.
2.      Syarat-syarat ‘Illat
Lebih lanjut Djazuli merinci definisi diatas dengan memberi beberapa syarat yang harus dipenuhi agar sesuatu sifat itu dapat dijadikan sebagai suatu ‘illat, sebagai berikut :
a.       ‘Illat itu harus merupakan sifat yang nyata, artinya dapat diindra. Tanpa diketahui dengan jelas adanya ‘illat kita tidak dapat menqiyaskan . Seperti sifat memabukan dapat diindra adanya pada khamar.
b.       ‘Illat harus merupakan sifat yang tegas dan tertentu, dalam arti dapat dipastikan adanya pada kasus cabang (furu’)
c.        ‘Illat hukum mempunyai kaitan dengan hikmah hukum dalam arti ‘illat tadi merupakan penerapan hukum untuk mencapai maqashidu syari’ah..
d.      ‘Illat bukan sifat yang hanya terdapat pada kasus ashal, sebab kalau sifat itu hanya terdapat pada kasus ashal maka tidak mungkin di qiyaskan/dianalogikan. Seperti kekhususan-kekhususan Rasulullah saw tidak bisa diqiyaskan kepada orang lain
e.        ‘Illat tidak berlawanan dengan nash. Apabila ‘illat berlawanan dengan nash maka nash-lah yang didahulukan..
f.        ‘Illat, menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, adalah suatu perkara yang menjadi latar belakang bagi pensyariatan suatu hukum (asy-syaiu alladzî min ajlihi wujida al-hukm). Dengan kata lain, illat adalah suatu perkara yang menjadi motif (latar belakang) penetapan suatu hukum (al-amr al-bâits alâ al-hukm). ‘Illat disebut juga ma’qûl an-nash. Dengan itu, akal dapat menghukumi masalah cabang dengan hukum yang ada pada masalah pokok, karena pada keduanya ada ‘illat yang sama
Bila kita ingin menyempitkan persyaratan-persyaratan ‘illat, maka dapat kita jelaskan disertai dengan beberapa contoh sebagai berikut :
1)      Bisa dijangkau oleh pancaindra secara zhahir. Contohnya : Memabukkan bisa dirasakan oleh indra (untk hukum khamr), ukuran jenis benda yang sama dapat diukur/dihitung oleh indra (untuk hukum riba). Contoh lain : Masuknya air mani tidak bisa jadi ‘illat hubungan nasab karena tidak bisa dilihat, maka diambil yang dapat diindrai yaitu terjadinya akad-nikah. Suka sama suka juga tidak bisa dijadikan ‘illat, untuk jual-beli karena tidak dapat diindrai, maka diambil ‘illat-nya yaitu shighat akad/ijab-kabul. Sempurna akalnya/dewasa juga tidak bisa jadi ‘illat. untuk pendelegasian wewenang/kekuasaan, maka diambil ‘illat yg nyata yaitu tanda-tanda baligh
2)       Bersifat pasti, tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan wujudnya pada cabang dengan cara membatasinya. Contohnya : Pembunuhan, muwarits oleh ahli waris, bisa disamakan dengan pembunuhan pada pemberi wasiat. Atau paksaan yg dilakukan dalam jual-beli, bisa disamakan dengan paksaan dalam sewa-menyewa.
3)      Harus ada sifat yang sama, sebagai dasar asumsi bagi mewujudkan hikmah hukum. Jika ada hukum yang hikmahnya nyata dan pasti maka hikmah hukum tersebut sekaligus juga merupakan ‘illat-nya. Contohnya : Memabukkan merupakan ‘illat, yang hikmahnya untuk memelihara akal. Membunuh dan menganiaya adalah ‘illat untuk melakukan qishash yang hikmahnya untuk memelihara hak kemanusiaan. Mencuri adalah ‘illat untuk melakukan had, yang hikmahnya untuk memelihara hak-milik manusia.
4)      Harus tidak hanya terbatas pada sifat asal. Melainkan bisa dijumpai pada selain asal. Jika ia hanya ada pada asal saja, maka tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum. Contohnya : Hukum khushusiyyah yang berlaku hanya pada nabi SAW, maka ‘illat-nya adalah nabi Muhammad SAW, maka tidak bisa dikiaskan pada orang lain. Seperti menikah dengan 9 orang istri, atau bahwa istri beliau haram dinikahi sepeninggal beliau. Contoh lain (yang juga tidak sah) : Memberi ‘illat pada khamr karena ia adalah perasan anggur, membatasi harta ribawi hanya sejumlah 6 macam (yang ada dalam nash) saja, dll kesemuanya itu adalah tidak sah.
3.      Usaha Penemuan ‘Illat
Masalikul ‘Illat adalah cara atau metode yang digunakan untuk mengetahui ‘illat. Lebih lanjut Djazuli menjelaskan bahwa ada tiga cara yang popular di kalangan ulama ushul fiqih sebagai usaha atau upaya agar kita dapat menemukan dan mengetahui ‘illat hukum yaitu sebagai berikut :
a.       Dengan Nash.
Dalam hal ini, kadang-kadang nash menunjukkan suatu sifat tertentu yang merupakan ‘illat dari suatu hukum. ‘Illat yang demikian dinamakan oleh ulama dengan “al-mansush ‘alaih”.‘Illat yang ditunjukkan oleh nash adakalanya tegas (sharih) dan adakalanya tidak tegas atau dengan isyarat. ‘Illat yang ditunjukkan oleh Nash itu sendiri dengan memperhatikan kata-kata yang digunakannya seperti kata-kata, li alla, kay , li ajli
b.      Dengan Ijma’
Apabila Ijma’ itu qath’iy.Dan sampainya kepada kita juga qath’i dan adanya ‘illat itu dalam cabang juga demikian, serta tidak ada dalil yang menantangnya, maka hukumnya qath’i.Apabila tidak demikian halnya hukumnya bernilai dhanni.Contoh ‘illat yang diketahui melalui ijma’ seperti mendahulukan saudara laki-laki seibu sebapak dari pada sudara laki-laki sebapak dalam warisan karena talian kekerabatan ibu.Dengan qiyas pula didahulukan anak paman seibu sebapak dari anak paman sebapak, anak saudara laki-laki seibu sebapak dari anak saudara laki-laki sebapak.Dengan qiyas pula didahulukan saudara laki-laki seibu sebapak dari saudara laki-laki sebapak dalam perwalian nikah.

c.       Dengan al-Sabr wa al-Taqsim.
Yaitu dengan cara mencari dan meneliti ‘illat yang paling tepat diantara beberapa kemungkinan ‘illat .Ini adalah pekerjaan seorang mujtahid dalam memilih mana yang paling tepat menjadi ‘illat.Untuk mengetahui ‘illat seperti itu sudah tentu diperlukan suatu pemahaman yang mendalam baik tentang sistem hukum Islam secara keseluruhan, maksud syara’ maupun perinciannya disamping diperlukan ketajaman berpikir.Menurut Taqiyuddin an-Nabhani, berdasarkan istiqrâ’ (penelaahan induktif) terhadap nash-nash syariat dalam al-Quran dan as-Sunnah, terdapat 4 (empat) macam ‘illat syar’iyyah, yaitu:
1)      ‘illat sharâhah
‘illat yang terdapat dalam nash yang secara jelas (sharâhah) menunjukkan adanya ‘illat. Ciri utama ‘illat sharâhah ini adalah digunakannya kata-kata tertentu yang dalam bahasa Arab menunjukkan adanya ‘illat (li at-ta’lîl)
2)      ‘illat dalâlah
‘illat yang diambil dari adanya tuntutan/konsekuensi yang dipahami dari makna kata (madlûl al-lafazh). Disebut ‘illat dalâlah karena ‘illat ini diperoleh dari dalâlah (makna) suatu kata. ‘Illat ini tidak diambil dari kata-kata tertentu yang dalam bahasa Arab secara langsung menunjukkan adanya ‘illat (li at ta’lîl) seperti min ajl, li ajl, dan sejenisnya; tetapi diambil dari mafhûm (makna tersirat/kontekstual) kata, bukan dari manthûq (makna tersurat/tekstual)-nya.
3)      ‘illat istinbâth
‘illat yang di-istinbâth (digali) dari susunan (tarkîb) nash yang tidak disebutkan secara tegas (sebagaimana ‘illat sharâhah) ataupun secara dalâlah (sebagaimana ‘illat dalâlah). ‘Illat ini dapat diambil dari satu nashatau beberapa nash.
4)      ‘illat qiyâs.
‘illat baru yang diperoleh dari ‘illat yang lama yang dapat diqiyaskan pada ‘illat-‘illat lain. ‘Illat qiyâs ini hanya terwujud pada illât dalâlah yang secara khusus mempunyai washf mufham, yakni sifat atau makna tertentu yang dapat dipahami sebagai ‘illat, yang berpengaruh terhadap hukum.Dari ‘illat lama ini lalu diperoleh ‘illat baru, yang disebut dengan ‘illat qiyâs.5
   E.     Kesimpulan
Bahwasanya Allah Swt mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al-quran maupun Hadist jumlahnya terbatas dan final. Tetapi permasalahatan manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah sama sekali.
Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum Syara’.Karenanya ijma’, qiyas serta illat merupakan sumber hukum syara’ yang tetap berjalanan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah.






DAFTAR PUSTAKA

Syafe’i Rahmat, 2010, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung:CV PUSTAKA SETIA
Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah,Dar al-Umah. Cetakan ke–4.
Khalil, ‘Atha.2008.Ushul Fiqh.Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
Zahrah, Muhammad Abu.2008.Ushul Fiqh.Jakarta: Pustaka Firdaus


[1] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung  PUSTAKA SETIA 2015) hal 69-70
[2] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung  PUSTAKA SETIA 2015) hal 72
[3] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung  PUSTAKA SETIA 2015) hal 73
5 Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, juz III halaman 343

Related Posts:

0 comments:

Post a Comment