IJMA’ QIYAS DAN ILLAT HUKUM
A.
Pendahuluan
Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu melakukan kegiatan-kegiatan yang
tidak lepas dari peranan syari’at atau hukum-hukum seperti sholat, puasa, jual
beli dan lain sebagainya.Semua itu membutuhkan hukum agar kita tidak salah arah
dalam landasan agama.
Untuk mengetahui hukum-hukum syari’at agama, para ulama telah melakukan
ijtihad untuk mengetahui hukum yang belum ada dalam Al-Qur’an dan hadist. Dalam
era sekarang, banyak kita jumpai hal-hal yang pada zaman Rasul SAW tidak
terjadi, untuk mengetahui bagaimana hukumnya hal tersebut, maka dibutuhkan
kesepakatan para ulama yaitu ijma’, qiyas dan illat (hukum).
B.
Ijma’
1. Pengertian
Ijma’
Secara bahasa, ijma’ mempunyai arti yaitu: sepakat, setuju dan
sependapat.Sedangkan Secara istilah ulama
ushul fiqih,pengarang kitab fushulul bada’i berpendapat bahwa kesepakatan semua
mujtahid dari ijma’ umat Nabi Muhammad dalam satu masa setelah beliau
wafat.
2.
Fungsi Ijma’
Meski Al-Qur’an sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tetapi
tidak semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al-Qur’an
maupun hadist.Selain itu perbedaan keadaan saat turunya Al-Qur’an dengan
kehidupan modern.Sehingga jika terdapat masalah baru maka diperlukan
aturan-aturan dalam kehidupan sehari-hari.Jadi, saat itulah umat Islam
memerlukan Ijma’ sebagai sumber hukum yang ketiga setelah Al-Qur’an dan
hadist.
3.
Syarat-syarat Ijma’
a. Kesepakatan dilakukan
oleh seluruh mujtahid.
b. Ijma’ dilakukan setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
c. Ijma’ berkaitan dengan hukum syara’.
d. Para mujtahid harus
umat Nabi Muhammad SAW.[1]
4.
Macam-macam Ijma’
1.)
Ijma’ Sharih
Yaitu ijma’ yang
dikeluarkan oleh para mujtahid secara lisan maupun tulisan yang terdapat
persetujuan dari mujtahid pada zamannya. Ijma’ ini disebut juga ijma’
bayani atau ijma’ qothi.
2.) Ijma’
sukuti atau ijma’
ghair sharih.
Yaitu ijma’
yang dikeluarkan oleh para mujtahid dengan cara diam tidak mengeluarkan
pendapat. Ijma’ sukuti akan dikatakan sah apabila memenuhi beberapa syarat di antaranya:
a) Diamnya para mujtahid betul-betul tidak menunjukan adanya kesepakatan
atau penolakan.
b) Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama, yang bisa dipakai untuk
memikirkan permasalahan.
c) Permasalahan yang difatwakan oleh para mujtahid tersebut adalah maslah
ijtihad yang bersumber dari dalil-dalil yang bersifat zhanni. Menurut
Imam Syafi’i dan kalangan Malikiyyah ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan
landasan pembentukan hukum, dengan alasan diamnya sebagian ulama mujtahid belum
tentu menandakan setuju, bisa jadi takut dengan penguasa atau sungkan menentang
pendapat mujtahid yang punya pendapat karena dianggap senior.
Hanafiyah menyatakan ijma’
sukuti sah jika digunakan sebagai landasan hukum, karena diamnya mujtahid
dipahami sebagai persetujuan, karena jika mereka tidak setuju dan memandangnya
keliru merka harus tegas menentangnya. Jika tidak menentang dengan tegas,
artinya setuju. [2]
Jumhur ulama berpendapat
bahwa ijma’ adalah merupakan hujjah yang wajib diamalkan, karena ijma’
merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan hadist. Dalil-dalil yang
mendukung pendapat jumhur ulama adalah:
1)
Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 115
وَمَنْ
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ
غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ
وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan
barang siapa yang menentang Rasul SAW sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam
Jahannam”.
Hal ini berarti wajib mengikuti jalan-jalan orang yang beriman, yaitu
para mujtahid yang menyepakati suatu hukum syara’.
2)
Hadist-hadist Nabawi yang menunjukan kemaksuman
umat Islam dari kesalahan dan kesesatan, yaitu hadist yang saling menguatkan
satu dengan lainnya, yang telah diterima umat, mutawatir dan dapat
dipakai sebagai hujjah. Hadist-hadist itu adalah:
لاَتَجْتَمِعُ اُمَّتِى عَلَى ضَلاَ لَةٍ
“Umatku tidak akan berkumpul (ijma’) untuk suatu
kesalahan”
.مَنْ فَا رَ قَ الجَمَا عَةَ وَ مَا تَ
“Barang
siapa memisahkan diri dari dari jamaah, lalu mati, maka matinya itu didalam
keadaan jahiliyah.”
3) Bahwa kesepakatan para mujtahid di atas satu pendapat, meskipun akal dan
pengetahuan mereka berbeda-beda, menujukan bahwa pendapat ini jelas
kebenarannya. Sebab seandainya ada dalil yang menyangkal tentang pendapat
mereka maka terjadilah perselisihan di antara mereka. Adapun contoh hukum syara’
yang didasari oleh ijma’ adalah:
a) Pengangkatan Abu Bakar Ash-Siddiq sebagai khalifah menggantikan
Rasulullah SAW.
b) Pembukuan Al-Qur’an.
c) Menentukan awal bulan ramadhan dan bulan syawal
C.
Qiyas
1. Pengertian Qiyas
Secara
bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan
si A dan si B, kerena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh
yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Sedangkan menurut ulama ushul fiqh
Qiyas berarti menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada
dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa
yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan
illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.
2. Dasar hukum qiyas
Mengenai dasar-dasar hukum qiyas bagi yang
membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah:
a.
Al-quran
Allah Swt memberi petunjuk dalam penggunaan qiyas dengan cara menyamakan
dua hal sebagaimana yang terdapat dalam Q.S. Yasiin (36) : 78-79:
وَضَرَبَ
لَنَا مَثَلًا وَنَسِيَ خَلْقَهُ قَالَ مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ
78. Dan ia membuat perumpamaan bagi kami, dan ia
lupa kepada kejadiannya : ia berkata “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang
belulang yang telah hancur luluh?”
قُلْ
يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ
79. Katakanlah :“Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya yang
pertama kali, dan Dia Maha mengetahui tentang segala makhluk”.
Ayat
tersebut menjelaskan bahwa Allah menyamakan kemampuannya menghidupkan tulang
belulang yang telah berserakan di kemudian hari dengan kemampuannya menciptakan
tulang belulang pertama kali.
b. Al-hadist
Di antara hadist yang dikemukan jumhur ulama sebagai argumentasi bagi
penggunaan qiyas adalah :
“Bagaimana (cara) kamu menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa
kepadamu? Mu’adz menjawab : Akan aku tetapkan berdasar Al-quran. Jika engkau
tidak memperolehnya dalam Al-quran? Mu’adz berkata : Akan aku tetapkan dengan
sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperolehnya dalam sunnah Rasulullah?
Mu’adz menjawab : Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha
sungguh-sungguh. (Mu’adz berkata) : Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata
: Segala puji bagi Allah yang telahmemberi petunjuk petugas yang diangkat
Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya”.
(HR. Ahmad Abu Daud dan At-Tirmidzi).
Dari
hadist tersebut dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam
menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat Al-quran dan
hadist yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dilakukan dalam berijtihad itu, salah satunya yaitu
menggunakan qiyas.
c. Perbuatan sahabat
Para sahabat Nabi Saw banyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum suatu
suatu peristiwa yang tidak ada nashnya.Seperti alasan pengangkatan khalifah Abu
Bakar. Menurut para sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah
disbanding sahabat-sahabat yang lain, karena dialah yang disuruh Nab Saw
mewakili beliau sebagai imam shalat di waktu beliau sedang sakit. Jika
Rasulullah Saw ridha Abu Bakar mengganti beliau imam shalat, tentu beliau lebih
ridha jika Abu Bakar menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan.
d. Akal
Tujuan Allah Swt
menetapkan syara’ bagi kemaslahatan manusia.Setiap peristiwa ada yang
diterangkan dasarnya dalam nash da nada pula yang tidak diterangkan. Peristiwa
yang tidak diterangkan dalam nash atau tidak ada nash yang dapat dijadikan
sebagai dasarnya ada yang ‘illatnya sesuai benar dengan ‘illat hukum dari
peristiwa yang ada nash sebagai dasarnya. Menetapkan hukum dari peristiwa yang
tidak ada nash sebagai dasarnya ini sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan
berdasarkan nash, karena ada persamaan ‘illatnya diduga keras akan memberikan
kemaslahatan kepada hamba. Sebab itu tepatlah kiranya hukum dari peristiwa itu
ditetapkan dengan cara Qiyas.
3. Rukun dan syarat qiyas
Adapun rukun qiyas
adalah sebagai berikut :
1) Ashl berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukum
berdasarkan nash. Ashl disebut juga maqis ‘illaih (yang menjadi ukuran), atau musyabbabih
(tempat menyerupakan), atau mahmu alaih (tempat membandingkan).
2)
Far’u berarti cabang, yaitu peristiwa yang belum
ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar
fara’ disebut juga maqis (yang menjadi ukuran), atau musyabbabih (tempat
menyerupakan), atau mahmu alaih (tempat membandingkan), seperti pengharaman
wisky dengan mengkqiyaskan dengan khamar.
3)
Hukum
Ashl adalah hukum dari asal yang telah ditetapkan
berdasarkan nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara’ seandainya
ada persamaan ‘illatnya. Seperti keharaman minuman khamar.Adapun hukum yang
ditetapkan far’u pada dasarnya merupakan hasil dari qiyas dan karenanya tidak
termasuk hukum.
4)
‘Illat adalah suatu sifat yang ada pada ashl dan sifat
itu yang dicari pada fara’. Seandainya sifat yang
ada pada fara’ maka persamaan sifat yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum
fara’ sama dengan hukum ashl.
Setelah diterangkan ruang-rukun-rukun qiyas, berikut akan
diterangkan syarat-syarat dari masing-masing rukun qiyas tersebut.
Ashl dan fara’
Telah diterangkan bahwa ashal dan fara’ berupa kejadian atau peristiwa.
Yang pertama mempunyai dasar nash,
sehingga belum ditetapkan hukumnya. Oleh sebab itu ashal disyaratkan berupa
peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.
Sedangkan fara’ berupa peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak
ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Hal
ini berarti bahwa seandainya terjadi qiyas, kemudian dikemukan nash yang
dapat dijadikan sebagai dasarnya, maka qiyas itu batal dan hukum fara’ itu
ditetapkan berdasar nash yang baru ditemukan itu.
Hukum ashal
Ada
beberapa syarat yang diperlukan bagi kaum ashl yaitu :
a) Hukum ashl itu hendaklah hukum syara’ yang amali
yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Hal ini diperlukan karena yang akan ditetapkan itu adalah hukum syara’.
Sedangkan sandaran hukum syara. Itu adalah nash. Atas dasar yang demikian, maka
jumhur ulama tidak berpendapat bahwa ijma’ tidak boleh menjadi sandaran qiyas.
Mereka menyatakan bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ adalah hukum
yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan, tidak mempunyai sandaran, selain dari
kesepakatan dari mujtahid. Karena hukum yang ditetapkan secara ijma’ tidak
dapat diketahui dengan pasti, sehingga tidak mungkin mengqiyaskan hukum syara’
yang amali kepada hukum yang mujma’ ilaih. Asy-Syaukani membolehkan ijma’
sebagai sandaran qiyas.
b) Hukum ashl harus ma’qul
al ma’na, artinya pensyari’atannya harus rasional.
c) Hukum ashl itu tidak
merupakan hukum pengecualian atau hukum yang berlaku pada kejadian atau
peristiwa yang lain.
Hukum ashl macam ini ada dua macam, yaitu :
1) ‘illat hukum itu hanya
ada pada hukum ashl saja, tidak mungkin pada yang lain. Seperti
diperbolehkannya mengqashar shalat bagi yang musafir. ‘illat yang mask akal
dalam hal ini adalah untuk menghilangkan kesulitan, tetapi Al-quran dan
Al-hadist bahwa ‘illat itu bukan karena adanya safar (perjalanan).
2) Dalil Al-quran dan
Al-hadist menunjukkan bahwa hukum ashl itu berlaku khusus tidak berlaku pada
kejadian atau peristiwa yang lain. Seperti beristri lebih dari empat hanya
dibolehkan bagi nabi Muhammad SAW saja dan istri beliau itu tidak boleh kawin
dengan laki-laki lain walupun beliau telah meninggal dunia, dan sebagainya.
4. Macam-macam qiyas
a) Qiyas Aula Qiyas ini juga dinamai awlawi, qiyas qhat’I, yaitu suatu qiyas yang
‘illatnya itulah yang mewajibkan hukum, atau dengan kata lain yaitu
mengqiyaskan sesuatu dengan sesuatu yang hukumnya telah ada, namun
sifat/illatnya lebih tinggi dari sifat hukum yang telah ada. Contohnya
keharaman hukum memukul orang tua, diqiyaskan kepada memakinya saja sudah
haram.
b) Qiyas Musawi adalah ‘illat qiyas suatu hukum sama, seperti halnya keharaman hukum
membakar harta anak dengan memakan harta hartanya.illat keduanya sama-sama
menghilangkannya.
c) Qiyas Adna atau Adwan adalah mengqiyaskan sesuatu yang kurang patut menerima hukum yang diberikan
kepada sesuatu yang patut menerima hukum itu. Contoh mengqiyaskan apel pada
gandum dalam hal berlakunya riba fadhal karena keduanya mengandung ‘illat yang
sama, yaitu sama-sama makanan.
d)
Qiyas
Dalalah alalah yaitu menetapkan hukum
karena ada persamaan dilalat al-hukm (penunjukan hukumnya).Seperti kesamaan
kewajiban zakat untuk harta anak yatim dan harta orang dewasa.Karena keduanya
sama-sama bisa tumbuh dan berkembang.
e)
Qiyas
Syibh yaitu terjadinyakeraguan dalam
mengqiyaskan, ke asal mana illat ditujukan kemudian harus ditentukan salah
satunya dalam rangka penetapan hukum padanya.Seperti pada kasus hamba yang
dibunuh, dirinya di qiyaskan kepada seorang manusia sebagai anak cucu Adam,
atau barang yang diperjualbelikan.
f)
Qiyas Al-aksi adalah yang tidak
adanya hukum karena tidak adanya ‘illat atau menetapkan lawan hukum sesuatu
bagi yang mana keduanya memiliki hukum yang berlawanan tentang hal ini
D.
Illat
1.
Pengertian ’Illat.
‘Illat adalah sifat hukum yang
terdapat dalam al-ashlu ( peristiwa asal ), dan merupakan benang merah
penghubung antara al-ashlu dengan al-far’u ( peristiwa cabang yang akan
dikiyaskan ), seperti “al-iskâr”. H.A Djazuli mendefinisikan ‘illat sebagai
berikut, “ Suatu sifat yang nyata dan tertentu yang berkaitan atau munasabah
dengan ada atau tidak adanya hukum. Disini Djazuli menyebut ‘illat itu sebagai
suatu sifat yang mudah diamati dan munasabah untuk dipautkan adanya atau tidak
adanya hukum kepada sifat tersebut. Sehingga dapat dipahami bahwa ‘illat adalah
:
a.
Suatu hikmah yang menjadi motivasi dalam menetapkan hukum, berupa
pencapaian kemaslahatan atau menolak kemudaratan. Misalnya tecapainya berbagai
manfaat bagi orang-orang yang melakukan transaksi jual beli, karena jual beli
itu dibolehkan. Terpeliharanya keturunan yang diakibatkan oleh diharamkannya
perzinaan dan terpeliharanya akal manusia disebabkan diharamkannya meminum
khamar.
b.
Sifat zahir yang dapat diukur yang sejalan dengan sesuatu
hukum dalam mencapai sesuatu kemaslahatan baik berupa manfaat untuk manusia
maupun menghindari kemudaratan bagi manusia, karena menolak dan menghindari
kemudaratan bagi manusia termasuk suatu kemaslahatan.
2.
Syarat-syarat ‘Illat
Lebih lanjut Djazuli merinci definisi diatas
dengan memberi beberapa syarat yang harus dipenuhi agar sesuatu sifat itu dapat
dijadikan sebagai suatu ‘illat, sebagai berikut :
a.
‘Illat itu harus merupakan sifat yang nyata, artinya dapat diindra.
Tanpa diketahui dengan jelas adanya ‘illat kita tidak dapat menqiyaskan .
Seperti sifat memabukan dapat diindra adanya pada khamar.
b.
‘Illat harus
merupakan sifat yang tegas dan tertentu, dalam arti dapat dipastikan adanya
pada kasus cabang (furu’)
c.
‘Illat hukum
mempunyai kaitan dengan hikmah hukum dalam arti ‘illat tadi merupakan penerapan
hukum untuk mencapai maqashidu syari’ah..
d.
‘Illat bukan sifat yang hanya terdapat pada kasus ashal, sebab
kalau sifat itu hanya terdapat pada kasus ashal maka tidak mungkin di
qiyaskan/dianalogikan. Seperti kekhususan-kekhususan Rasulullah saw tidak bisa
diqiyaskan kepada orang lain
e.
‘Illat tidak berlawanan
dengan nash. Apabila ‘illat berlawanan dengan nash maka nash-lah yang
didahulukan..
f.
‘Illat, menurut
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, adalah suatu perkara yang menjadi latar belakang
bagi pensyariatan suatu hukum (asy-syaiu alladzî min ajlihi wujida al-hukm). Dengan kata lain, illat adalah suatu perkara yang menjadi motif
(latar belakang) penetapan suatu hukum (al-amr al-bâits alâ al-hukm). ‘Illat
disebut juga ma’qûl an-nash. Dengan itu, akal dapat menghukumi masalah cabang
dengan hukum yang ada pada masalah pokok, karena pada keduanya ada ‘illat yang
sama
Bila kita ingin menyempitkan persyaratan-persyaratan ‘illat, maka
dapat kita jelaskan disertai dengan beberapa contoh sebagai berikut :
1)
Bisa dijangkau oleh pancaindra secara zhahir. Contohnya :
Memabukkan bisa dirasakan oleh indra (untk hukum khamr), ukuran jenis benda
yang sama dapat diukur/dihitung oleh indra (untuk hukum riba). Contoh lain :
Masuknya air mani tidak bisa jadi ‘illat hubungan nasab karena tidak bisa
dilihat, maka diambil yang dapat diindrai yaitu terjadinya akad-nikah. Suka
sama suka juga tidak bisa dijadikan ‘illat, untuk jual-beli karena tidak dapat
diindrai, maka diambil ‘illat-nya yaitu shighat akad/ijab-kabul. Sempurna
akalnya/dewasa juga tidak bisa jadi ‘illat. untuk pendelegasian
wewenang/kekuasaan, maka diambil ‘illat yg nyata yaitu tanda-tanda baligh
2)
Bersifat pasti, tertentu,
terbatas dan dapat dibuktikan wujudnya pada cabang dengan cara membatasinya.
Contohnya : Pembunuhan, muwarits oleh ahli waris, bisa disamakan dengan
pembunuhan pada pemberi wasiat. Atau paksaan yg dilakukan dalam jual-beli, bisa
disamakan dengan paksaan dalam sewa-menyewa.
3)
Harus ada sifat yang sama, sebagai dasar asumsi bagi mewujudkan
hikmah hukum. Jika ada hukum yang hikmahnya nyata dan pasti maka hikmah hukum
tersebut sekaligus juga merupakan ‘illat-nya. Contohnya : Memabukkan merupakan
‘illat, yang hikmahnya untuk memelihara akal. Membunuh dan menganiaya adalah
‘illat untuk melakukan qishash yang hikmahnya untuk memelihara hak kemanusiaan.
Mencuri adalah ‘illat untuk melakukan had, yang hikmahnya untuk memelihara
hak-milik manusia.
4)
Harus tidak hanya terbatas pada sifat asal. Melainkan bisa dijumpai
pada selain asal. Jika ia hanya ada pada asal saja, maka tidak dapat dijadikan
sebagai dasar hukum. Contohnya : Hukum khushusiyyah yang berlaku hanya pada
nabi SAW, maka ‘illat-nya adalah nabi Muhammad SAW, maka tidak bisa dikiaskan
pada orang lain. Seperti menikah dengan 9 orang istri, atau bahwa istri beliau
haram dinikahi sepeninggal beliau. Contoh lain (yang juga tidak sah) : Memberi
‘illat pada khamr karena ia adalah perasan anggur, membatasi harta ribawi hanya
sejumlah 6 macam (yang ada dalam nash) saja, dll kesemuanya itu adalah tidak
sah.
3.
Usaha Penemuan ‘Illat
Masalikul ‘Illat adalah cara atau
metode yang digunakan untuk mengetahui ‘illat. Lebih lanjut Djazuli menjelaskan
bahwa ada tiga cara yang popular di kalangan ulama ushul fiqih sebagai usaha
atau upaya agar kita dapat menemukan dan mengetahui ‘illat hukum yaitu sebagai
berikut :
a.
Dengan Nash.
Dalam hal ini, kadang-kadang nash
menunjukkan suatu sifat tertentu yang merupakan ‘illat dari suatu hukum. ‘Illat
yang demikian dinamakan oleh ulama dengan “al-mansush ‘alaih”.‘Illat yang
ditunjukkan oleh nash adakalanya tegas (sharih) dan adakalanya tidak tegas atau
dengan isyarat. ‘Illat yang ditunjukkan oleh Nash itu sendiri dengan
memperhatikan kata-kata yang digunakannya seperti kata-kata, li alla, kay , li
ajli
b.
Dengan Ijma’
Apabila Ijma’ itu qath’iy.Dan sampainya kepada
kita juga qath’i dan adanya ‘illat itu dalam cabang juga demikian, serta tidak
ada dalil yang menantangnya, maka hukumnya qath’i.Apabila tidak demikian halnya
hukumnya bernilai dhanni.Contoh ‘illat yang diketahui melalui ijma’ seperti
mendahulukan saudara laki-laki seibu sebapak dari pada sudara laki-laki sebapak
dalam warisan karena talian kekerabatan ibu.Dengan qiyas pula didahulukan anak
paman seibu sebapak dari anak paman sebapak, anak saudara laki-laki seibu
sebapak dari anak saudara laki-laki sebapak.Dengan qiyas pula didahulukan
saudara laki-laki seibu sebapak dari saudara laki-laki sebapak dalam perwalian
nikah.
c.
Dengan al-Sabr wa al-Taqsim.
Yaitu dengan cara mencari dan meneliti ‘illat
yang paling tepat diantara beberapa kemungkinan ‘illat .Ini adalah pekerjaan
seorang mujtahid dalam memilih mana yang paling tepat menjadi ‘illat.Untuk
mengetahui ‘illat seperti itu sudah tentu diperlukan suatu pemahaman yang
mendalam baik tentang sistem hukum Islam secara keseluruhan, maksud syara’
maupun perinciannya disamping diperlukan ketajaman berpikir.Menurut Taqiyuddin
an-Nabhani, berdasarkan istiqrâ’ (penelaahan induktif)
terhadap nash-nash syariat dalam al-Quran dan as-Sunnah, terdapat 4 (empat) macam
‘illat syar’iyyah, yaitu:
1)
‘illat sharâhah
‘illat yang terdapat dalam nash yang
secara jelas (sharâhah) menunjukkan adanya ‘illat. Ciri utama ‘illat sharâhah
ini adalah digunakannya kata-kata tertentu yang dalam bahasa Arab menunjukkan
adanya ‘illat (li at-ta’lîl)
2)
‘illat dalâlah
‘illat yang diambil dari adanya
tuntutan/konsekuensi yang dipahami dari makna kata (madlûl al-lafazh). Disebut
‘illat dalâlah karena ‘illat ini diperoleh dari dalâlah (makna) suatu kata.
‘Illat ini tidak diambil dari kata-kata tertentu yang dalam bahasa Arab secara
langsung menunjukkan adanya ‘illat (li at ta’lîl) seperti min ajl, li ajl, dan
sejenisnya; tetapi diambil dari mafhûm (makna tersirat/kontekstual) kata, bukan
dari manthûq (makna tersurat/tekstual)-nya.
3)
‘illat istinbâth
‘illat yang di-istinbâth (digali) dari susunan
(tarkîb) nash yang tidak disebutkan secara tegas (sebagaimana ‘illat sharâhah)
ataupun secara dalâlah (sebagaimana ‘illat dalâlah). ‘Illat ini dapat diambil
dari satu nashatau beberapa nash.
4)
‘illat qiyâs.
‘illat baru yang diperoleh dari
‘illat yang lama yang dapat diqiyaskan pada ‘illat-‘illat lain. ‘Illat qiyâs
ini hanya terwujud pada illât dalâlah yang secara khusus mempunyai washf
mufham, yakni sifat atau makna tertentu yang dapat dipahami sebagai ‘illat, yang
berpengaruh terhadap hukum.Dari ‘illat lama ini lalu diperoleh ‘illat baru,
yang disebut dengan ‘illat qiyâs.5
E. Kesimpulan
Bahwasanya Allah Swt mensyariatkan hukum
tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang
dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al-quran maupun Hadist
jumlahnya terbatas dan final. Tetapi permasalahatan manusia lainnya tidak
terbatas dan tidak pernah sama sekali.
Mustahil jika nash-nash tadi saja yang
menjadi sumber hukum Syara’.Karenanya ijma’, qiyas serta illat merupakan sumber
hukum syara’ yang tetap berjalanan dengan munculnya permasalahan-permasalahan
yang baru. Yang kemudian menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang
tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah.
DAFTAR PUSTAKA
Syafe’i Rahmat, 2010, Ilmu
Ushul Fiqih, Bandung:CV PUSTAKA SETIA
Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah
al-Islâmiyyah,Dar
al-Umah. Cetakan ke–4.
Khalil, ‘Atha.2008.Ushul Fiqh.Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
Zahrah, Muhammad Abu.2008.Ushul Fiqh.Jakarta:
Pustaka Firdaus
0 comments:
Post a Comment