PageNavi Results No.

Thursday, February 9

mata kuliah Tafsir Tarbawi "Objek Pendidikan" dengan diskusinya



BAB I
PENDAHULUAN



1.1.   LATAR BELAKANG

Al Qur’an merupakan kitab umat Islam di seluruh dunia. Bukan hanya sekedar kumpulan lembaran-lembaran yang di baca dan mendapatkan pahala semata dengan membacanya. Namun lebih dari itu, Al Qur’an merupakan mukjizat yang abadi sampai akhir nanti, bahkan Al Qur’an memberikan hujjah dan sebagai penolong di hari perhitungan amal kelak. Di dalam Al Qur’an terdapat kandungan pengetahuan yang tiada tara. Baik yang tersurat ataupun yang masih tersirat.
Untuk mengetahui makna-makna dan hikmah-hikmah yang terdapat dalam Al Qur’an, perlu adanya penafsiran-penafsiran tentang ayat-ayatnya dan semua itu terdapat di dalam ilmu tafsir. Kewajiban yang terpikul di pundak para ulama ialah menyelidiki makna-makna kalmullah dan menafsirkannya, menggali dari sumber-sumbernya serta mempelajari hal tersebut dan mengajarkannya.
Diantara ilmu-ilmu Al Qur’an, tafsir merupakan ilmu yang mencakup berbagai disiplin ilmu. Di dalamnya terhimpun tafsir dari sudut balaghoh, nahwu, sorof, asbab nuzul, munasabah, hadist, tarikh, dan lain sebagainya
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an diperlukan ilmu yang luas. Maka dalam makalah ini akan di coba menguraikan tafsir tentang ayat-ayat yang berhubungan dengan objek pendidikan, yakni : QS. At Tahrim ayat 6, QS. Asy Syu’araa ayat 214, QS. At taubah ayat 122, dan QS. An Nisaa’ ayat 170.





















BAB II
PEMBAHASAN


2.1. QS. AT TAHRIM AYAT 6

يَأَيُهَا الَذِيْنَ أَمَنُوْا قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا وَقُوْدُهَا النَاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهاَ مَلَئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادٌ لاَيَعْصُوْنَ اللهَ مَآأَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَايُؤْمَرُوْنَ
Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu ; penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. At Tahrim Ayat 6)

            Dalam ayat ini terdapat lafadz perintah berupa fi’il amr yang secara langsung dan tegas, yakni lafadz (peliharalah atau jagalah), hal ini dimaksudkan bahwa kewajiban setiap mukmin salah satunya adalah menjaga dirinya sendiri dan keluarganya dari siksa neraka. Dalam tafsir jalalain penjagaan tersebut adalah dengan pelaksanaan perintah taat kepada Allah SWT.
 Merupakan tanggung jawab setiap manusia untuk menjaga dirinya sendiri serta keluarganya, sebab manusia merupakan pemimpin bagi dirinya sendiri dan keluarganya yang nanti akan dimintai pertanggungjawabannya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, (artinya) : ”Dari Ibnu Umar ra. Berkata : saya mendengar Rasulullah SAW, bersabda : setiap hari dari kamu adalah pemimpin, dan setiap dari kamu akan dimintai pertanggaungjawaban atas kepemimpinannya, seorang imam adalah pemimpin dan akan ditanyai atas kepemimpinannya, orang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan ditanyai atas kepemimpinannya…”. (HR. Bukhari dan Muslim).
 Diriwayatkan bahwa ketika ayat ke-6 ini turun, Umar berkata : ”Wahai Rasulullah, kami sudah menjaga diri kami dan bagaimana menjaga keluarga kami?” Rasulullah SAW, menjawab : ”Larang mereka mengerjakan apa yang kamu dilarang mengerjakannya dan perintahkanlah mereka melakukan apa yang Allah memerintahkan kepadamu melakukannya. Begitulah cara meluputkan mereka dari api neraka. Neraka itu di jaga oleh malaikat yang kasar dan keras yang pemimpinnya berjumlah sembilan belas malaikat, mereka dikuasakan mengadakan penyiksaan di dalam neraka, tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepadanya”. Maka jelas bahwa tugas manusia tidak hanya menjaga dirinya sendiri, namun juga keluarganya dari siksa neraka. Untuk dapat melaksanakan taat kepada Allah SWT, tentunya harus dengan menjalankan segala perintah-Nya, serta menjauhi segala larangan-Nya. Dan semua itu tak akan bisa terjadi tanpa adanya pendidikan syari’at. Maka disimpulkan bahwa keluarga juga merupakan objek pendidikan.
 Di lihat dari ayat itu sendiri terdapat :

a. Hubungan antar kalimat (munasabah), bahwa manusia diharapkan seperti perilaku
     malaikat, yakni mengerjakan apa yang di perintah Allah SWT.

b. Tafsiran : ayat ini menerangkan tentang ultimatum kepada kaum mukminin (diri         dan keluarganya) untuk tidak melakukan kemurtadan dengan lidahnya, meskipun         hatinya tidak.

 2.2. QS. ASY SYU’ARA  AYAT 214

وَأَنْذِرْعَشِيْرَتَكَ اْلأَقْرَبِيْنَ

Artinya : ”Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”.           
                (QS. Asy Syu’araa’ ayat 214).

 Sesuai dengan ayat sebelumnya (QS. At Tahrim ayat 6) bahwa terdapat perintah langsung dengan fi’il amr (berilah peringatan). Namun perbedaannya adalah tentang objeknya, dimana dalam ayat ini adalah kerabat-kerabat. ”Al Aqrobyn” mereka adalah Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthollib, lalu nabi Muhammad SAW, memberikan peringatan kepada mereka secara terang-terangan ; demikianlah menurut keterangan hadist yang telah dikemukakan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Namun hal ini bukan berarti khusus untuk nabi Muhammad SAW, saja kepada Bani Hasyim dan Bani Muthollib, tetapi juga untuk seluruh umat Islam. Selaras dengan kaidah ushul fiqh :
 إِذَا وَرَدَ اَلْعَامُ عَلَى سَبَبِ الْخَاصِ فَالْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَفْظِ لاَبِخُصُوْصِ السَبَبِ
Artinya : ”Apabila datang dalil ‘am karena sebab yang khos maka yang dianggap adalah umumnya lafadz, bukan dengan kekhusususan sebab”.
Di lihat dari munasabah ayat, selanjutnya terdapat ayat ke-215 :
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
Artinya : ”Dan rendahkan dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu,
                 yaitu orang-orang yang beriman”. (QS. Asy Syu’araa ayat 215)

Asbab nuzul ayat ini, ketika ayat ini turun Rasulullah SAW, bersabda : ”Wahai Bani Abdul Muthollib, demi Allah aku tidak pernah menemukan sesuatu yang lebih baik di seluruh bangsa Arab dari apa yang aku bawa untukmu. Aku datang kepadamu untuk kebaikan di dunia dan akhirat. Allah telah menyuruhku mengajakmu kepada-Nya. Maka siapakah diantara kamu yang bersedia membantuku dalam urusan ini untuk menjadi saudaraku dan washiku serta khalifahku?”. Mereka semua tidak bersedia kecuali Ali bin Abi Tholib. Diantara hadirin beliaulah yang paling muda. Ali berdiri seraya berkata : ”Aku ya Rasulullah. Aku (bersedia menjadi) wazirmu dalam urusan ini”. Lalu Rasulullah SAW, memegang bahu Ali seraya bersabda : ”Sesungguhnya Ali ini adalah saudaraku dan washiku serta khalifahku terhadap kalian. Oleh karena itu, dengarkanlah dan taatilah ia”. Mereka tertawa terbahak-bahak sambil berkata kepada Abi Tholib : ”Kamu di suruh mendengar dan mentaati anakmu”.
 Umat Islam adalah saudara bagi yang lain, maka harus saling mendidik dan menasehati. Sebagimana sabda nabi Muhammad SAW, (artinya) : ”Dari Jabir ibn Abdillah ra. berkata : saya bersumpah setia kepada Rasulullah SAW, untuk mendirikan shalat, menunaikan zakat dan menasehati kepada setiap muslim”. (HR. Bukhari dan Muslim)

 2.3. QS. AT-TAUBAH AYAT 122

 وَمَاكَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوا كَآفَةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِنْ كُلِ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَهُوْا فِى الدِيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَهُمْ يَحْذَرُوْنَ.
Artinya : ”Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka dapat menjaga dirinya”. (QS. At Taubah ayat 122)

 Dalam ayat ini juga terdapat dua lafadz fi’il amr yang disertai lam amr, yakni (supaya mereka memperdalam ilmu agama) dan lafadz (supaya mereka memberi peringatan), yang berarti kewajiban untuk belajar dan mengajar.
 Adapun proses belajar dan mengajar sangat dianjurkan oleh nabi Muhammad SAW, sabda beliau : ”Dan darinya (Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : barang siapa yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya pahala orang yang mengikutinya tidak dikurangi sedikitpun dari padanya)”. (HR. Muslim)
 Asbab nuzulnya Dalam suatu riwayat dikemukakan,  bahwa mengingat keinginan kaum Mukminin yang sangat besar terhadap masalah jihad, disebutkan bahwa bila Rasulullah saw. mengirimkan pasukan perang, maka mereka semuanya berangkat. Dan mereka meninggalkan Nabi saw. di Madinah bersama dengan orang-orang yang lemah, maka turunlah firman-Nya berikut ini : (tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi) ke medan perang (semuanya. Mengapa tidak) (pergi dari tiap-tiap golongan) suatu kabilah (diantara mereka beberapa orang) beberapa golongan saja kemudian sisanya tetap tinggal di tempat (untuk memperdalam pengetahuan mereka), (Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim yang bersumber dari Abdullah bin Ubaid bin Umair).
Qotadah mengatakan sehubungan dengan takwil ayat ini, bahwa apabila Rasulallah SAW mengirim pasukan Allah memerintahkan kepada kaum muslimin agar pergi berperang tetapi sebagian dari mereka harus tinggal bersama Rasulallah SAW, untuk memperdalam ilmu agama sedangkan yang lainnya menyeru kaumnya dan memperingatkan mereka akan azab-azab Allah yang telah menimpah umat-umat sebelum mereka.
             Yakni tetap tinggal di tempat (mengenai agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya) dari medan perang, yaitu dengan mengajarkan kepada mereka hukum-hukum agama yang telah dipelajarinya (supaya mereka itu dapat menjaga dirinya) dari siksaan Allah, yaitu dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
             Sehubungan dengan ayat ini Ibnu Abbas ra. memberikan penakwilannya bahwa ayat ini penerapannya hanya khusus untuk sariyyah-sariyyah, yakni bilamana pasukan itu dalam bentuk sariyyah lantaran nabi Muhammad SAW, tidak ikut. Sedangkan ayat sebelumnya yang juga melarang seseorang tetap tinggal ditempatnya dan tidak ikut berangkat ke medan perang, maka hal ini pengertiannya tertuju kepada nabi Muhammad SAW, berangkat ke suatu ghazwah.

 2.4. QS. AN NISAA’ AYAT 170

يَأَيُهَا النَاسُ قَدْجَآءَكُمُ الرَسُوْلُ بِالْحَقِ مِنْ رَبِكُمْ فَأَمِنُوْا خَيْرًا لَكُمْ  وَإِنْ تَكْفُرُوْا فَإِنَ للهِ مَا فِى السَمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَكَانَ اللهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا
Artinya : ”Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan (membawa) kebenaran dari Tuhan-Mu, maka berimanlah kamu, itu yang lebih baik bagimu. Dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan sedikitpun kepada Allah SWT) karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah kepunyaan Allah SWT. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. An Nisaa’ ayat 170)

 Dalam ayat ini Allah SWT, menyeru kepada umat manusia untuk beriman, sebab sudah ada Rasul (nabi Muhammad SAW,) yang di utus membawa syari’at yang benar. Dengan kata lain, Dia tidak memerlukan kalian, dan Dia tidak terkena mudarat karena kekafiran kalian. Prihalnya sama degan makna ayat lain, yaitu firman-Nya :
وقال موسي إن تكفروا أنتم ومن في الأرض جميعا فإن الله لغنيٌّ حميدٌ
Artinya : Dan musa berkata,”jika kalian dan orang –orang yang ada dimuka
               bumi semuanya kafir, maka sesungguhnya Allah maha kaya lagi
               maha terpuji. ( QS. Ibrahim ayat 8 )
Adapun manusia, karena adanya kesamaan jenis, ukhuwah basyariyyah, maka dakwah dan tarbiyah kepada non muslim pun harus tetap dilakukan, tentunya dengan jalan yang baik. Nabi Muhammad SAW, bersabda (artinya) : ”Demi Abdullah Ibn Amr Ibn Al Ashra. Berkata : sesungguhnya nabi Muhammad SAW, bersabda : sampaikanlah dariku walaupun satu ayat……” (HR. Bukhari)

A.    Peserta Didik dan Etika Pembelajaran
      Pengajaran dan pendidikan umum maupun urusan agama perlu memperhatikan etika penyampaian. Perlu diketahui bahwa manusia, ketika dilibatkan sebagai peserta didik atau objek dalam hal pendidikan, mempunyai penilaian bathin tersendiri yang terkadang sulit diterka sebelumnya oleh para pengajar dan pendidik. Sehingga kearifan, kebijaksanaan, dan kecerdasan dalam memilah dan memilih metode sangat dibutuhkan.

Allah SWT, dalam QS An Nahl : 125, menjelaskan tentang etika berda'wah :

äí÷Š$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7­/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS [16] An Nahl: 125)

Maksudnya adalah bahwa kata "ud'u" yang berarti serulah, dalam konteks pendidikan berarti ajarilah atau didiklah manusia—sebagai peserta didiknya—dengan menggunakan cara-cara/metode yang sangat memperhatikan etika tabligh. Menurut dhohir ayat di atas ialah dengan mempergunakan dua cara etika, yakni : (1) hikmah, yaitu perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil, dan (2) pelajaran yang baik, yang sangat berguna dalam hidup dan kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat.

Imam Jalalain (Jalaludin Muhammad bin Ahmad alMahla dan Jalaludin Abdurrahman bin Abi Bakr asSuyuthi) menafsirkan ayat di atas dengan risalah sebagai berikut:

"Serulah/ajarilah manusia, wahai Muhammad, menuju jalan Tuhannu, yakni agamaNya dengan hikmah, yakni dengan Al Quran, dan dengan pelajaran yang baik, yaitu pelajarannya atau ucapan yang halus. Dan bantahlah mereka dengan bantahan yang lebih baik, yakni seruan atau permohonan kepada Allah dengan ayat-ayatNya dan seruan kepada hujjah/buktinya. Sesungguhnya Rob-mu Maha Mengetahui terhadap orang-orang yang sesat dari jalanNya, dan mengetahui terhadap orang-orang yang beroleh petunjuk, dan membalasnya…"

Pada ayat lain, Allah jelaskan etika pembelajaran itu dengan firmanNya:
$yJÎ6sù 7pyJômu z`ÏiB «!$# |MZÏ9 öNßgs9 ( öqs9ur |MYä. $ˆàsù xáÎ=xî É=ù=s)ø9$# (#qÒxÿR]w ô`ÏB y7Ï9öqym ( ß#ôã$$sù öNåk÷]tã öÏÿøótGó$#ur öNçlm; öNèdöÍr$x©ur Îû ͐öDF{$# ( #sŒÎ*sù |MøBztã ö@©.uqtGsù n?tã «!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$# ÇÊÎÒÈ

"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya." (QS [3] Ali Imran : 159).

Ayat ini memberi pengertian pendidikan seyogyanya dilakukan dengan cara yang lemah lembut, tidak harus tepat seperti yang kita (pendidik) mau. Ini karena latar belakang peserta didik yang berbeda, yang heterogen, baik daya kecerdasannya, hereditasnya, maupun stimulant motivasinya. Semua ini sangat mempengaruhi pribadinya. Oleh karena itu dibutuhkan sikap lemah lembut, penuh dedikasi dan kharismatik sebagai pendidik. Kalau tidak, para peserta didik akan lari meninggalkan bangku pendidikan. Yang pada akhirnya kita (para pendidik) akan kehilangan tujuannya, dan sasaran tidak akan tercapai. Dengan kata lain da'wah menjadi gagal.
Karena seorang pendidik adalah agen pembelajaran, berada di garis depan, berhadapan langsung dengan peserta didik, maka di samping suri tauladannya dengan sikap, ia juga harus memperhatikan gaya bicara dalam proses pembelajaran. Etika berbicara yang baik atau buruk akan didengar langsung oleh peserta didik.
@è%ur ÏŠ$t7ÏèÏj9 (#qä9qà)tƒ ÓÉL©9$# }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) z`»sÜø¤±9$# éøu\tƒ öNæhuZ÷t/ 4 ¨bÎ) z`»sÜø¤±9$# šc%x. Ç`»|¡SM~Ï9 #xrßtã $YZÎ7B ÇÎÌÈ
Artinya : "Dan Katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia." (QS [17] Al Isra: 53)

Tentu saja cara bicara yang mengindahkan norma (baik/buruk) akan berimbas kepada etika para peserta didiknya. Keteladanan para pengajar dan pendidik akan dijadikan cermin kehidupan mereka. Singkatnya, apa saja etika yang diterapkan para pendidik, baik prilaku, sikap, dan ucapan, sedikit atau banyak akan ditiru dan dijadikan pola dalam hidup mereka kelak. Oleh karena itu, etika akhlak yang baik dari para guru/pendidik mutlak dibutuhkan. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang lebih baik akhlaknya?

إِنَّ مِنْ خِيَارِكُمْ أَحْسَنُكُمْ أَخْلاَقًا.

"Sesungguhnya yang lebih baik diantara kamu adalah yang lebih baik akhlaknya".
 Demikian sabda Rasulullah SAW dalam kitab Mushannif Ibnu Abi Syaibah yang diterima dari Abdullah bin Amru. Sebenarnya bukanlah pendidikan Islam jika tidak menggunakan etika, karena Islam sangat mengedepankan etika dan akhlak. Sebagaimana kita ketahui bahwa Nabi Muhammad SAW diutus untuk menyempurnakan akhlah manusia. Itulah, secara historis, awal perlunya diadakan pendidikan Islam. Sehingga diharapkan lahir generasi yang tahu akan akhlak, baik akhlak terhadap Allah, Rasul, sesama manusia, yang lebih tua, bahkan kepada makhluak Allah lainnya.
B.     Sifat Peserta Didik Menurut Al Quran

      Peserta didik dalam menerima pengajaran dan pendidikan Islam baik dari orang tua, kerabat tua, guru/ustadz maupun kiyainya berbeda-beda sifat sikapnya. Hal ini hampir sama dengan sifat dasar manusia pada umumnya. Dalam Al Quran disebut tidak kurang dari 5 (lima) kali/ayat, yakni:
a.      QS [17] Al Isra :11, bahwa manusia bersifat tergesa-gesa.


وَكَانَ اْلإِنْسَانُ عَجُوْلاً.

"dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa."

b.      QS [70] Al Ma'arij :20, bersifat keluh kesah.


إنَّ اْلإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًا

"Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir."

Hampir sebahagian dari peserta didik memiliki sifat-sifat ini. Kurangnya persiapan dalam belajar menjadi fenomena yang patut disayangkan. Mereka semestinya memiliki kesabaran dalam menekuni ajaran dan didikan, yang memang memerlukan waktu yang cukup untuk menjadi pribadi yang cakap dan diharapkan. Oleh karena itu para pengajar dan pendidik perlu memikirkan untuk memilih waktu yang tepat bagi para peserta didik untuk bisa berkonsentrasi dengan baik. Sebab kalau tidak mereka akan merasa bosan, mengeluh dan akhirnya malas. Demikian pula halnya Rasulullah SAW dalam memberikan nasehat, seperti yang diceritakan oleh Ibnu Mas'ud:


كان النبيّ صلعم يَتَخَوَّلُنا بالموْعِظَةِ فِي اْلأيَّامِ كَرَاهَةَ السَّآمَّةِ عَلَينا


"Adalah Nabi SAW selalu memilih waktu yang tepat bagi kami untuk memberikan nasihat, karena beliau takut kami akan merasa bosan."

c.      QS [18] Al Kahfi :54, bahwa manusia suka membantah


وَلَقَدْ صَرَّفْنَا فِيْ هَذَا الْقُرْآنِ لِلنَّاسِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ وَكَانَ اْلإِنْسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلاً.

"Dan Sesungguhnya kami Telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al Quran ini bermacam-macam perumpamaan. dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah."
Tidak sedikit peserta didik yang memiliki sifat ini. Sekiranya para guru/pendidik tidak bersabar dalam hal ini, pastilah mereka (peserta didik) termasuk orang yang mengalami kerugian yang besar. Para guru/ustadz perlu mencari terobosan metode pemberian pelajaran/pendidikan/nasehat yang arif dan cerdas, sedemikian hingga peserta didik merasa dihormati dan tidak disepelekan meski mereka suka membantah segala yang disampaikan. Sehingga sifat mereka yang semula oleh Allah disebut "aktsara syai-in jadalan", diharapkan mereka akan bersifat " aktsara syai-in jumaalan" yakni segala sifat yang dimilikinya adalah bagus.

d.       QS [90] Al Balad: 4, bersifat susah payah


لَقَدْ خَلَقْنَا اْلإِنْسَانَ فِيْ كَبَدٍ.

"Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia berada dalam susah payah."
Karena peserta didik memiliki sifat susah payah dalam memahami nasehat, maka para guru/pendidik hendaknya mempermudah dengan penjelasan-penjelasan yang diperlukan. "berilah kemudahan dan jangan kalian persulit, berilah berita gembira dan jangan kalian menakut-nakuti", demikian sabda Nabi yang disampaikan oleh Anas bin malik.

يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا وَبَشّرُوْا وَلاَ تُنَفِّرُوْا.

e.      QS [4] An Nisa: 28, bersifat lemah

يُرِيْدُ اللهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ ج وَخُلِقَ اْلإِنْسَانُ ضَعِيْفًا.

"Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah."
Dalam konteks pendidikan, pun para peserta didik ada yang bersifat lemah, terutama dalam hal pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi. Namun demikian dengan menjadikan mereka sebagai sasaran pendidikan, dengan metoda yang dipilih sesuai dengan karakteristik peserta didik itu, yakni student centered, mereka akan mampu mengubah dirinya menjadi kuat dalam ilmu pengetahuan dan akhlak budi pekerti. "Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, hingga kaum itu mengubah nasib yang ada pada dirinya" (QS Ar Ra'du: 11).
Ayat-ayat di atas hanya mengungkapkan sifat-sifat negatif dari peserta didik karena memang Al Quran lebih banyak mengukapkan sifat-sifat negative dari pada sifat-sifat positifnya. Hal ini dimaksudkan agar manusia menyadari akan kelemahannya dan berupaya untuk memperbaikinya .
Dengan memperhatikan sifat-sifat peserta didik di atas, begitu juga sifat-sifat yang lain yang terkait, baik keluarga dekat maupun masyarakat luas, maka diperlukan kesabaran pendidik, antisipasi dini, motivasi tepat sasaran, dan metode cerdas dalam kegiatan. Peserta didik yang tidak tersentuh oleh upaya-upaya positif guru/pendidik dalam niatan perbaikan pendidikan Islam, akan berakibat pada gagalnya hakekat da'wah Islamiyah itu sendiri pada jenjang pendidikan.





















BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN

1.      Dalam Qs At Tahrim ayat 6, menunjukkan perintah untuk menjaga diri dan
             keluarga dari api neraka dan merupakan tarbiyah untuk diri sendiri dan keluarga.
2.      Dalam Qs Asy Syu’ara ayat 214, menunjukkan bahwa yang menjadi objek
       pendidikan adalah kerabat terdekat dari kita dan orang-orang yang dekat kepada
      adzab Allah SWT.
3.      Dalam Qs At Taubah ayat 122, menunjukkan bahwa yang menjadi objek
       pendidikan adalah lebih khusus, yakni sebagian dari orang-orang mu’min.






DAFTAR PUSTAKA

Al-quran dan terjemah depak RI
Tafsir ibnu katsir , Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin Katsir Al-Bashri Ad-Dimasyqi, Imaduddin Abu Al-Fida Al-Hafizh Al-Muhaddits Asy-Syafi'i.
Abuddin Nata, 2002, Tafsir ayat-ayat pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Ahmad Mustafa al-Maraghi. Tafsir al-Maraghi jilid IV (Beirut Dar al fikr, tp.th.)
Ahmad Munir. 2008, Tafsir Tarbawi mengungkap pesan Al-Qur’an tentang pendidikan, Yogyakarta.



PPT BISA DIUNDUH
Ø  Kumpulan Tanya Jawab Seputar Objek Pendidikan
1.      Bagaimana peran objek pendidikan khususnya guru dalam membangun sekolah yang pingsan menjadi sekolah yang siuman bahkan bangkit lagi? Dalam tanda kutip arti sekolah yang pingsan disini adalah sekolah yang telah mengalami kebangkrutan baik kepercayaan mauapun kualitasnya?
2.      Bagaimana cara mengajar atau mendidik objek pendidikan jika orang tersebut lebih tua dari kita?
3.      Bagaiman mengajak objek pendidikan dalam lingkungan masyarakat?
Ø  Jawaban

Target Diagram



Di antara banyaknya ayat Al-qur’an tentang objek pendidikan yang paling mudah untuk dikaji, yang paling bisa diterangkan secara gamblang serta menjawab pertanyaan teman-teman secara umum adalah surar At-Tahrim ayat 6. Saya ingin memberikan ilustrasi, diatas sudah ada sasaran anak panah yang terdiri dari tiga lingkaran, kalian pasti tahu lomba memanah dimana jika mengenai sasaran fokus lingkaran paling kecil (warna merah) maka besar kesempatan untuk berkembang menjadi  juara atau sukses. Di sini saya ingin mengatakan dalam surat At-Tahrim ayat 6 lafadz  quuu kalau kita menggunakan pendekatan bahasa adalah  fi’il amr, fi’il amr dalam study ulumul qur’an dan ushul fiqih untuk mengkaji ayat-ayat hukum maka perlu perangkat yang namanya ilmu ushul fiqih, dalam kaidah ilmu ushul fiqih dikatakan الأصل فى الأمرالنخو  berarti hukum asal hukumnya perintah adalah wajib, fi’il amr itu kata kerja perintah berarti kalau perintah maka hukumnya wajib berarti semuanya ini wajib mengamalkan surat At-Tahrim ayat 6, persoalanya adalah disini (surat At-Tahrim) ada urut-urutan untuk melakukan upaya menjaga diri sendiri, menjaga keluarga, dan menjaga masyarakat dari ancaman api neraka. Berarti kalau kita berbicara tentang ushul fiqih pertama yang bisa kita dapatkan untuk mengkaji ayat ini adalah perintah di situ wjib yang kedua yang menjadi objek hukum (dalam bahasa ushul fiqih itu namanya mahkum bih)  itu namanya objek fi’lul mukalaf, kalau kita berbicara objek fi’lul mukalaf maka mahkum bihnya adalah perbuatan mukalaf, nah perbuatan mukalaf  itu di kelompokan mana yang didahulukan dan mana yang menjadi priyoritas selanjutnya, ternyata dalam surat At-Tahrim ayat 6 itu urut bahwa yang pertama yang harus mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah sebenarnya bukan orang lain tapi diri sendiri berarti kita menjadi objek, kita di sisni menjadi seorang guru sekaligus menjadi murid. Jadi bagaimana cara kita menjaga diri kita, keluarga serta masyarakat dari api neraka? Ternyata caranya adalah mengajak diri kita, keluarga serta masyarakat dengan melakukan ketaatan.
  1. Mengutip penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa peran objek atau guru untuk mengembangkan sekolah yang pingsan pertama ada perbaiki diri sendiri terlebih dahulu.
  2. Menyesuaikan materinya seperti contoh materi tentang akhirat, karena tidak mungkin seseorang yang sudah menikah atau orang yang sudah lanjut usia dijelaskan tentang pernikahan otomatis dia bosan karena memang sudah alumni sudah mngalaminya, kemudian adab atau etika kita menyampaikan materi jangan seperti kita menyampaikan materi kepada anak TK yang disuruh bernyanyi keras-keras sambil lari dan bertepuk tangan.
  3. Dengan cara mengikuti remaja masjid (untuk remaja), mengikuti majelis ta’lim (untuk ibu-ibu).

Related Posts:

2 comments: