BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Al Qur’an
merupakan kitab umat Islam di seluruh dunia. Bukan hanya sekedar kumpulan
lembaran-lembaran yang di baca dan mendapatkan pahala semata dengan membacanya.
Namun lebih dari itu, Al Qur’an merupakan mukjizat yang abadi sampai akhir
nanti, bahkan Al Qur’an memberikan hujjah dan sebagai penolong di hari
perhitungan amal kelak. Di dalam Al Qur’an terdapat kandungan pengetahuan yang
tiada tara. Baik yang tersurat ataupun yang masih tersirat.
Untuk
mengetahui makna-makna dan hikmah-hikmah yang terdapat dalam Al Qur’an, perlu
adanya penafsiran-penafsiran tentang ayat-ayatnya dan semua itu terdapat di
dalam ilmu tafsir. Kewajiban yang terpikul di pundak para ulama ialah
menyelidiki makna-makna kalmullah dan menafsirkannya, menggali dari
sumber-sumbernya serta mempelajari hal tersebut dan mengajarkannya.
Diantara
ilmu-ilmu Al Qur’an, tafsir merupakan ilmu yang mencakup berbagai disiplin
ilmu. Di dalamnya terhimpun tafsir dari sudut balaghoh, nahwu, sorof, asbab
nuzul, munasabah, hadist, tarikh, dan lain sebagainya
Dalam
menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an diperlukan ilmu yang luas. Maka dalam makalah
ini akan di coba menguraikan tafsir tentang ayat-ayat yang berhubungan dengan
objek pendidikan, yakni : QS. At Tahrim ayat 6, QS. Asy Syu’araa ayat 214, QS.
At taubah ayat 122, dan QS. An Nisaa’ ayat 170.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. QS. AT
TAHRIM AYAT 6
يَأَيُهَا
الَذِيْنَ أَمَنُوْا قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا وَقُوْدُهَا
النَاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهاَ مَلَئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادٌ لاَيَعْصُوْنَ اللهَ
مَآأَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَايُؤْمَرُوْنَ
Artinya : ”Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu ; penjaganya adalah
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap
apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan”. (QS. At Tahrim Ayat 6)
Dalam
ayat ini terdapat lafadz perintah berupa fi’il amr yang secara langsung dan
tegas, yakni lafadz (peliharalah atau jagalah), hal ini dimaksudkan bahwa
kewajiban setiap mukmin salah satunya adalah menjaga dirinya sendiri dan
keluarganya dari siksa neraka. Dalam tafsir jalalain penjagaan tersebut adalah
dengan pelaksanaan perintah taat kepada Allah SWT.
Merupakan tanggung jawab setiap manusia untuk
menjaga dirinya sendiri serta keluarganya, sebab manusia merupakan pemimpin
bagi dirinya sendiri dan keluarganya yang nanti akan dimintai
pertanggungjawabannya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, (artinya) : ”Dari Ibnu
Umar ra. Berkata : saya mendengar Rasulullah SAW, bersabda : setiap hari dari
kamu adalah pemimpin, dan setiap dari kamu akan dimintai pertanggaungjawaban
atas kepemimpinannya, seorang imam adalah pemimpin dan akan ditanyai atas
kepemimpinannya, orang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan akan
ditanyai atas kepemimpinannya…”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Diriwayatkan bahwa ketika ayat ke-6 ini turun,
Umar berkata : ”Wahai Rasulullah, kami sudah menjaga diri kami dan bagaimana
menjaga keluarga kami?” Rasulullah SAW, menjawab : ”Larang mereka mengerjakan
apa yang kamu dilarang mengerjakannya dan perintahkanlah mereka melakukan apa
yang Allah memerintahkan kepadamu melakukannya. Begitulah cara meluputkan
mereka dari api neraka. Neraka itu di jaga oleh malaikat yang kasar dan keras
yang pemimpinnya berjumlah sembilan belas malaikat, mereka dikuasakan
mengadakan penyiksaan di dalam neraka, tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepadanya”. Maka jelas bahwa tugas manusia tidak hanya
menjaga dirinya sendiri, namun juga keluarganya dari siksa neraka. Untuk dapat
melaksanakan taat kepada Allah SWT, tentunya harus dengan menjalankan segala
perintah-Nya, serta menjauhi segala larangan-Nya. Dan semua itu tak akan bisa
terjadi tanpa adanya pendidikan syari’at. Maka disimpulkan bahwa keluarga juga
merupakan objek pendidikan.
Di lihat dari ayat itu sendiri
terdapat :
a. Hubungan antar kalimat
(munasabah), bahwa manusia diharapkan seperti perilaku
malaikat, yakni mengerjakan apa yang di perintah Allah SWT.
malaikat, yakni mengerjakan apa yang di perintah Allah SWT.
b. Tafsiran
: ayat ini menerangkan tentang ultimatum kepada kaum mukminin (diri dan keluarganya) untuk tidak
melakukan kemurtadan dengan lidahnya, meskipun hatinya tidak.
2.2. QS. ASY SYU’ARA AYAT 214
وَأَنْذِرْعَشِيْرَتَكَ اْلأَقْرَبِيْنَ
Artinya : ”Dan
berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”.
(QS. Asy Syu’araa’ ayat 214).
Sesuai dengan ayat sebelumnya (QS. At Tahrim
ayat 6) bahwa terdapat perintah langsung dengan fi’il amr (berilah peringatan).
Namun perbedaannya adalah tentang objeknya, dimana dalam ayat ini adalah
kerabat-kerabat. ”Al Aqrobyn” mereka adalah Bani Hasyim dan Bani Abdul
Muthollib, lalu nabi Muhammad SAW, memberikan peringatan kepada mereka secara
terang-terangan ; demikianlah menurut keterangan hadist yang telah dikemukakan
oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Namun hal ini bukan berarti khusus untuk
nabi Muhammad SAW, saja kepada Bani Hasyim dan Bani Muthollib, tetapi juga
untuk seluruh umat Islam. Selaras dengan kaidah ushul fiqh :
إِذَا وَرَدَ
اَلْعَامُ عَلَى سَبَبِ الْخَاصِ فَالْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَفْظِ لاَبِخُصُوْصِ
السَبَبِ
Artinya :
”Apabila datang dalil ‘am karena sebab yang khos maka yang dianggap adalah
umumnya lafadz, bukan dengan kekhusususan sebab”.
Di lihat dari munasabah ayat, selanjutnya terdapat ayat ke-215 :
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَبَعَكَ
مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
Artinya : ”Dan
rendahkan dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu,
yaitu
orang-orang yang beriman”. (QS. Asy Syu’araa ayat 215)
Asbab nuzul
ayat ini, ketika ayat ini turun Rasulullah SAW, bersabda : ”Wahai Bani Abdul
Muthollib, demi Allah aku tidak pernah menemukan sesuatu yang lebih baik di
seluruh bangsa Arab dari apa yang aku bawa untukmu. Aku datang kepadamu untuk
kebaikan di dunia dan akhirat. Allah telah menyuruhku mengajakmu kepada-Nya.
Maka siapakah diantara kamu yang bersedia membantuku dalam urusan ini untuk
menjadi saudaraku dan washiku serta khalifahku?”. Mereka semua tidak bersedia
kecuali Ali bin Abi Tholib. Diantara hadirin beliaulah yang paling muda. Ali
berdiri seraya berkata : ”Aku ya Rasulullah. Aku (bersedia menjadi) wazirmu
dalam urusan ini”. Lalu Rasulullah SAW, memegang bahu Ali seraya bersabda :
”Sesungguhnya Ali ini adalah saudaraku dan washiku serta khalifahku terhadap
kalian. Oleh karena itu, dengarkanlah dan taatilah ia”. Mereka tertawa
terbahak-bahak sambil berkata kepada Abi Tholib : ”Kamu di suruh mendengar dan
mentaati anakmu”.
Umat Islam adalah saudara bagi yang lain, maka
harus saling mendidik dan menasehati. Sebagimana sabda nabi Muhammad SAW,
(artinya) : ”Dari Jabir ibn Abdillah ra. berkata : saya bersumpah setia kepada
Rasulullah SAW, untuk mendirikan shalat, menunaikan zakat dan menasehati kepada
setiap muslim”. (HR. Bukhari dan Muslim)
2.3. QS. AT-TAUBAH AYAT 122
وَمَاكَانَ
الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوا كَآفَةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِنْ كُلِ فِرْقَةٍ
مِنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَهُوْا فِى الدِيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ
إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَهُمْ يَحْذَرُوْنَ.
Artinya :
”Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka dapat
menjaga dirinya”. (QS. At Taubah ayat 122)
Dalam ayat ini juga terdapat dua lafadz fi’il
amr yang disertai lam amr, yakni (supaya mereka memperdalam ilmu agama) dan
lafadz (supaya mereka memberi peringatan), yang berarti kewajiban untuk belajar
dan mengajar.
Adapun proses belajar dan mengajar sangat
dianjurkan oleh nabi Muhammad SAW, sabda beliau : ”Dan darinya (Abu Hurairah
ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : barang siapa yang mengajak kepada
petunjuk, maka baginya pahala orang yang mengikutinya tidak dikurangi
sedikitpun dari padanya)”. (HR. Muslim)
Asbab nuzulnya Dalam suatu
riwayat dikemukakan, bahwa mengingat
keinginan kaum Mukminin yang sangat besar terhadap masalah jihad, disebutkan
bahwa bila Rasulullah saw. mengirimkan pasukan perang, maka mereka semuanya
berangkat. Dan mereka meninggalkan Nabi saw. di Madinah bersama dengan
orang-orang yang lemah,
maka turunlah firman-Nya berikut ini : (tidak sepatutnya bagi orang-orang
mukmin itu pergi) ke medan perang (semuanya. Mengapa tidak) (pergi dari
tiap-tiap golongan) suatu kabilah (diantara mereka beberapa orang) beberapa
golongan saja kemudian sisanya tetap tinggal di tempat (untuk memperdalam
pengetahuan mereka), (Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim
yang bersumber dari Abdullah bin Ubaid bin Umair).
Qotadah
mengatakan sehubungan dengan takwil ayat ini, bahwa apabila Rasulallah SAW
mengirim pasukan Allah memerintahkan kepada kaum muslimin agar pergi berperang
tetapi sebagian dari mereka harus tinggal bersama Rasulallah SAW, untuk
memperdalam ilmu agama sedangkan yang lainnya menyeru kaumnya dan
memperingatkan mereka akan azab-azab Allah yang telah menimpah umat-umat
sebelum mereka.
Yakni tetap tinggal di tempat
(mengenai agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka
telah kembali kepadanya) dari medan perang, yaitu dengan mengajarkan kepada
mereka hukum-hukum agama yang telah dipelajarinya (supaya mereka itu dapat
menjaga dirinya) dari siksaan Allah, yaitu dengan melaksanakan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya.
Sehubungan dengan ayat ini Ibnu
Abbas ra. memberikan penakwilannya bahwa ayat ini penerapannya hanya khusus
untuk sariyyah-sariyyah, yakni bilamana pasukan itu dalam bentuk sariyyah
lantaran nabi Muhammad SAW, tidak ikut. Sedangkan ayat sebelumnya yang juga
melarang seseorang tetap tinggal ditempatnya dan tidak ikut berangkat ke medan
perang, maka hal ini pengertiannya tertuju kepada nabi Muhammad SAW, berangkat
ke suatu ghazwah.
2.4. QS. AN NISAA’ AYAT 170
يَأَيُهَا
النَاسُ قَدْجَآءَكُمُ الرَسُوْلُ بِالْحَقِ مِنْ رَبِكُمْ فَأَمِنُوْا خَيْرًا
لَكُمْ وَإِنْ تَكْفُرُوْا فَإِنَ للهِ
مَا فِى السَمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَكَانَ اللهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا
Artinya :
”Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan
(membawa) kebenaran dari Tuhan-Mu, maka berimanlah kamu, itu yang lebih baik
bagimu. Dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak merugikan sedikitpun
kepada Allah SWT) karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah
kepunyaan Allah SWT. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
(QS. An Nisaa’ ayat 170)
Dalam ayat ini Allah SWT, menyeru kepada umat
manusia untuk beriman, sebab sudah ada Rasul (nabi Muhammad SAW,) yang di utus
membawa syari’at yang benar. Dengan kata lain, Dia tidak memerlukan kalian, dan
Dia tidak terkena mudarat karena kekafiran kalian. Prihalnya sama degan makna
ayat lain, yaitu firman-Nya :
وقال موسي إن
تكفروا أنتم ومن في الأرض جميعا فإن الله لغنيٌّ حميدٌ
Artinya : Dan musa berkata,”jika kalian dan orang
–orang yang ada dimuka
bumi semuanya kafir, maka sesungguhnya Allah maha kaya lagi
maha terpuji. ( QS. Ibrahim ayat 8 )
bumi semuanya kafir, maka sesungguhnya Allah maha kaya lagi
maha terpuji. ( QS. Ibrahim ayat 8 )
Adapun manusia,
karena adanya kesamaan jenis, ukhuwah basyariyyah, maka dakwah dan tarbiyah
kepada non muslim pun harus tetap dilakukan, tentunya dengan jalan yang baik.
Nabi Muhammad SAW, bersabda (artinya) : ”Demi Abdullah Ibn Amr Ibn Al Ashra.
Berkata : sesungguhnya nabi Muhammad SAW, bersabda : sampaikanlah dariku
walaupun satu ayat……” (HR. Bukhari)
A.
Peserta Didik
dan Etika Pembelajaran
Pengajaran dan pendidikan umum maupun urusan agama perlu memperhatikan etika penyampaian. Perlu diketahui bahwa manusia, ketika dilibatkan sebagai peserta didik atau objek dalam hal pendidikan, mempunyai penilaian bathin tersendiri yang terkadang sulit diterka sebelumnya oleh para pengajar dan pendidik. Sehingga kearifan, kebijaksanaan, dan kecerdasan dalam memilah dan memilih metode sangat dibutuhkan.
Allah SWT, dalam QS An Nahl : 125, menjelaskan tentang etika berda'wah :
Pengajaran dan pendidikan umum maupun urusan agama perlu memperhatikan etika penyampaian. Perlu diketahui bahwa manusia, ketika dilibatkan sebagai peserta didik atau objek dalam hal pendidikan, mempunyai penilaian bathin tersendiri yang terkadang sulit diterka sebelumnya oleh para pengajar dan pendidik. Sehingga kearifan, kebijaksanaan, dan kecerdasan dalam memilah dan memilih metode sangat dibutuhkan.
Allah SWT, dalam QS An Nahl : 125, menjelaskan tentang etika berda'wah :
äí÷Š$# 4’n<Î) È@‹Î6y™ y7În/u‘ ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9ω»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }‘Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7/u‘ uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#‹Î6y™ ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïωtGôgßJø9$$Î/
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS [16] An Nahl: 125)
Maksudnya adalah bahwa kata "ud'u" yang berarti serulah, dalam konteks pendidikan berarti ajarilah atau didiklah manusia—sebagai peserta didiknya—dengan menggunakan cara-cara/metode yang sangat memperhatikan etika tabligh. Menurut dhohir ayat di atas ialah dengan mempergunakan dua cara etika, yakni : (1) hikmah, yaitu perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil, dan (2) pelajaran yang baik, yang sangat berguna dalam hidup dan kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat.
Imam Jalalain (Jalaludin Muhammad bin Ahmad alMahla dan Jalaludin Abdurrahman bin Abi Bakr asSuyuthi) menafsirkan ayat di atas dengan risalah sebagai berikut:
"Serulah/ajarilah manusia, wahai Muhammad, menuju jalan Tuhannu, yakni agamaNya dengan hikmah, yakni dengan Al Quran, dan dengan pelajaran yang baik, yaitu pelajarannya atau ucapan yang halus. Dan bantahlah mereka dengan bantahan yang lebih baik, yakni seruan atau permohonan kepada Allah dengan ayat-ayatNya dan seruan kepada hujjah/buktinya. Sesungguhnya Rob-mu Maha Mengetahui terhadap orang-orang yang sesat dari jalanNya, dan mengetahui terhadap orang-orang yang beroleh petunjuk, dan membalasnya…"
Pada ayat lain, Allah jelaskan etika pembelajaran itu dengan firmanNya:
$yJÎ6sù 7pyJômu‘ z`ÏiB «!$# |MZÏ9 öNßgs9 ( öqs9ur |MYä. $ˆàsù xá‹Î=xî É=ù=s)ø9$# (#q‘ÒxÿR]w ô`ÏB y7Ï9öqym ( ß#ôã$$sù öNåk÷]tã öÏÿøótGó™$#ur öNçlm; öNèdö‘Ír$x©ur ’Îû ÍöDF{$# ( #sŒÎ*sù |MøBz•tã ö@©.uqtGsù ’n?tã «!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä† tû,Î#Ïj.uqtGßJø9$# ÇÊÎÒÈ
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya." (QS [3] Ali Imran : 159).
Ayat ini memberi pengertian pendidikan seyogyanya dilakukan dengan cara yang lemah lembut, tidak harus tepat seperti yang kita (pendidik) mau. Ini karena latar belakang peserta didik yang berbeda, yang heterogen, baik daya kecerdasannya, hereditasnya, maupun stimulant motivasinya. Semua ini sangat mempengaruhi pribadinya. Oleh karena itu dibutuhkan sikap lemah lembut, penuh dedikasi dan kharismatik sebagai pendidik. Kalau tidak, para peserta didik akan lari meninggalkan bangku pendidikan. Yang pada akhirnya kita (para pendidik) akan kehilangan tujuannya, dan sasaran tidak akan tercapai. Dengan kata lain da'wah menjadi gagal.
Karena seorang pendidik adalah agen pembelajaran, berada di garis depan, berhadapan langsung dengan peserta didik, maka di samping suri tauladannya dengan sikap, ia juga harus memperhatikan gaya bicara dalam proses pembelajaran. Etika berbicara yang baik atau buruk akan didengar langsung oleh peserta didik.
@è%ur “ÏŠ$t7ÏèÏj9 (#qä9qà)tƒ ÓÉL©9$# }‘Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) z`»sÜø‹¤±9$# éøu”\tƒ öNæhuZ÷t/ 4 ¨bÎ) z`»sÜø‹¤±9$# šc%x. Ç`»|¡SM~Ï9 #xr߉tã $YZÎ7•B ÇÎÌÈ
Artinya
: "Dan Katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: Hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan
perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata
bagi manusia." (QS [17] Al Isra: 53)
Tentu saja cara bicara yang mengindahkan norma (baik/buruk) akan berimbas kepada etika para peserta didiknya. Keteladanan para pengajar dan pendidik akan dijadikan cermin kehidupan mereka. Singkatnya, apa saja etika yang diterapkan para pendidik, baik prilaku, sikap, dan ucapan, sedikit atau banyak akan ditiru dan dijadikan pola dalam hidup mereka kelak. Oleh karena itu, etika akhlak yang baik dari para guru/pendidik mutlak dibutuhkan. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang lebih baik akhlaknya?
Tentu saja cara bicara yang mengindahkan norma (baik/buruk) akan berimbas kepada etika para peserta didiknya. Keteladanan para pengajar dan pendidik akan dijadikan cermin kehidupan mereka. Singkatnya, apa saja etika yang diterapkan para pendidik, baik prilaku, sikap, dan ucapan, sedikit atau banyak akan ditiru dan dijadikan pola dalam hidup mereka kelak. Oleh karena itu, etika akhlak yang baik dari para guru/pendidik mutlak dibutuhkan. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang lebih baik akhlaknya?
إِنَّ مِنْ خِيَارِكُمْ أَحْسَنُكُمْ أَخْلاَقًا.
"Sesungguhnya yang lebih baik diantara kamu adalah yang lebih baik akhlaknya".
Demikian sabda Rasulullah SAW dalam kitab
Mushannif Ibnu Abi Syaibah yang diterima dari Abdullah bin Amru. Sebenarnya
bukanlah pendidikan Islam jika tidak menggunakan etika, karena Islam sangat
mengedepankan etika dan akhlak. Sebagaimana kita ketahui bahwa Nabi Muhammad
SAW diutus untuk menyempurnakan akhlah manusia. Itulah, secara historis, awal
perlunya diadakan pendidikan Islam. Sehingga diharapkan lahir generasi yang
tahu akan akhlak, baik akhlak terhadap Allah, Rasul, sesama manusia, yang lebih
tua, bahkan kepada makhluak Allah lainnya.
B.
Sifat Peserta
Didik Menurut Al Quran
Peserta didik dalam menerima pengajaran dan pendidikan Islam baik dari orang tua, kerabat tua, guru/ustadz maupun kiyainya berbeda-beda sifat sikapnya. Hal ini hampir sama dengan sifat dasar manusia pada umumnya. Dalam Al Quran disebut tidak kurang dari 5 (lima) kali/ayat, yakni:
Peserta didik dalam menerima pengajaran dan pendidikan Islam baik dari orang tua, kerabat tua, guru/ustadz maupun kiyainya berbeda-beda sifat sikapnya. Hal ini hampir sama dengan sifat dasar manusia pada umumnya. Dalam Al Quran disebut tidak kurang dari 5 (lima) kali/ayat, yakni:
a.
QS [17] Al Isra
:11, bahwa manusia bersifat tergesa-gesa.
وَكَانَ اْلإِنْسَانُ عَجُوْلاً.
"dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa."
b.
QS [70] Al
Ma'arij :20, bersifat keluh kesah.
إنَّ اْلإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًا
"Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir."
Hampir sebahagian dari peserta didik memiliki
sifat-sifat ini. Kurangnya persiapan dalam belajar menjadi fenomena yang patut
disayangkan. Mereka semestinya memiliki kesabaran dalam menekuni ajaran dan
didikan, yang memang memerlukan waktu yang cukup untuk menjadi pribadi yang cakap
dan diharapkan. Oleh karena itu para pengajar dan pendidik perlu memikirkan
untuk memilih waktu yang tepat bagi para peserta didik untuk bisa
berkonsentrasi dengan baik. Sebab kalau tidak mereka akan merasa bosan,
mengeluh dan akhirnya malas. Demikian pula halnya Rasulullah SAW dalam
memberikan nasehat, seperti yang diceritakan oleh Ibnu Mas'ud:
كان النبيّ صلعم يَتَخَوَّلُنا بالموْعِظَةِ فِي اْلأيَّامِ كَرَاهَةَ السَّآمَّةِ عَلَينا
"Adalah Nabi SAW selalu memilih waktu yang tepat bagi kami untuk memberikan nasihat, karena beliau takut kami akan merasa bosan."
c.
QS [18] Al Kahfi
:54, bahwa manusia suka membantah
وَلَقَدْ صَرَّفْنَا فِيْ هَذَا الْقُرْآنِ لِلنَّاسِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ وَكَانَ اْلإِنْسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلاً.
"Dan Sesungguhnya kami Telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al Quran ini bermacam-macam perumpamaan. dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah."
Tidak sedikit peserta didik yang memiliki sifat ini.
Sekiranya para guru/pendidik tidak bersabar dalam hal ini, pastilah mereka
(peserta didik) termasuk orang yang mengalami kerugian yang besar. Para
guru/ustadz perlu mencari terobosan metode pemberian
pelajaran/pendidikan/nasehat yang arif dan cerdas, sedemikian hingga peserta
didik merasa dihormati dan tidak disepelekan meski mereka suka membantah segala
yang disampaikan. Sehingga sifat mereka yang semula oleh Allah disebut
"aktsara syai-in jadalan", diharapkan mereka akan bersifat "
aktsara syai-in jumaalan" yakni segala sifat yang dimilikinya adalah
bagus.
d.
QS [90] Al Balad: 4, bersifat susah payah
لَقَدْ خَلَقْنَا اْلإِنْسَانَ فِيْ كَبَدٍ.
"Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia berada dalam susah payah."
Karena peserta didik memiliki sifat susah payah
dalam memahami nasehat, maka para guru/pendidik hendaknya mempermudah dengan
penjelasan-penjelasan yang diperlukan. "berilah kemudahan dan jangan
kalian persulit, berilah berita gembira dan jangan kalian menakut-nakuti",
demikian sabda Nabi yang disampaikan oleh Anas bin malik.
يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا وَبَشّرُوْا وَلاَ تُنَفِّرُوْا.
e.
QS [4] An Nisa:
28, bersifat lemah
يُرِيْدُ اللهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ ج وَخُلِقَ اْلإِنْسَانُ ضَعِيْفًا.
"Allah hendak memberikan keringanan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah."
Dalam konteks pendidikan, pun para peserta didik ada
yang bersifat lemah, terutama dalam hal pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi.
Namun demikian dengan menjadikan mereka sebagai sasaran pendidikan, dengan
metoda yang dipilih sesuai dengan karakteristik peserta didik itu, yakni
student centered, mereka akan mampu mengubah dirinya menjadi kuat dalam ilmu
pengetahuan dan akhlak budi pekerti. "Allah tidak akan mengubah nasib
suatu kaum, hingga kaum itu mengubah nasib yang ada pada dirinya" (QS Ar
Ra'du: 11).
Ayat-ayat di atas hanya mengungkapkan sifat-sifat
negatif dari peserta didik karena memang Al Quran lebih banyak mengukapkan
sifat-sifat negative dari pada sifat-sifat positifnya. Hal ini dimaksudkan agar
manusia menyadari akan kelemahannya dan berupaya untuk memperbaikinya .
Dengan memperhatikan sifat-sifat peserta didik di atas, begitu juga sifat-sifat yang lain yang terkait, baik keluarga dekat maupun masyarakat luas, maka diperlukan kesabaran pendidik, antisipasi dini, motivasi tepat sasaran, dan metode cerdas dalam kegiatan. Peserta didik yang tidak tersentuh oleh upaya-upaya positif guru/pendidik dalam niatan perbaikan pendidikan Islam, akan berakibat pada gagalnya hakekat da'wah Islamiyah itu sendiri pada jenjang pendidikan.
Dengan memperhatikan sifat-sifat peserta didik di atas, begitu juga sifat-sifat yang lain yang terkait, baik keluarga dekat maupun masyarakat luas, maka diperlukan kesabaran pendidik, antisipasi dini, motivasi tepat sasaran, dan metode cerdas dalam kegiatan. Peserta didik yang tidak tersentuh oleh upaya-upaya positif guru/pendidik dalam niatan perbaikan pendidikan Islam, akan berakibat pada gagalnya hakekat da'wah Islamiyah itu sendiri pada jenjang pendidikan.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1. Dalam Qs At
Tahrim ayat 6, menunjukkan perintah untuk menjaga diri dan
keluarga dari api neraka dan merupakan tarbiyah untuk diri sendiri dan keluarga.
keluarga dari api neraka dan merupakan tarbiyah untuk diri sendiri dan keluarga.
2.
Dalam Qs Asy
Syu’ara ayat 214, menunjukkan bahwa yang menjadi objek
pendidikan adalah kerabat terdekat dari kita dan orang-orang yang dekat kepada
adzab Allah SWT.
pendidikan adalah kerabat terdekat dari kita dan orang-orang yang dekat kepada
adzab Allah SWT.
3. Dalam Qs At
Taubah ayat 122, menunjukkan bahwa yang menjadi objek
pendidikan adalah lebih khusus, yakni sebagian dari orang-orang mu’min.
pendidikan adalah lebih khusus, yakni sebagian dari orang-orang mu’min.
DAFTAR PUSTAKA
Al-quran dan terjemah depak RI
Tafsir ibnu katsir , Ismail bin Umar Al-Quraisyi bin
Katsir Al-Bashri Ad-Dimasyqi, Imaduddin Abu Al-Fida Al-Hafizh Al-Muhaddits
Asy-Syafi'i.
Abuddin Nata, 2002, Tafsir
ayat-ayat pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Ahmad Mustafa al-Maraghi. Tafsir
al-Maraghi jilid IV (Beirut Dar al fikr, tp.th.)
Ahmad Munir. 2008, Tafsir Tarbawi
mengungkap pesan Al-Qur’an tentang pendidikan, Yogyakarta.
PPT BISA DIUNDUH
Ø
Kumpulan Tanya Jawab
Seputar Objek Pendidikan
1.
Bagaimana peran objek
pendidikan khususnya guru dalam membangun sekolah yang pingsan menjadi sekolah
yang siuman bahkan bangkit lagi? Dalam tanda kutip arti sekolah yang pingsan
disini adalah sekolah yang telah mengalami kebangkrutan baik kepercayaan
mauapun kualitasnya?
2.
Bagaimana cara mengajar
atau mendidik objek pendidikan jika orang tersebut lebih tua dari kita?
3.
Bagaiman mengajak objek
pendidikan dalam lingkungan masyarakat?
Ø
Jawaban

Di antara
banyaknya ayat Al-qur’an tentang objek pendidikan yang paling mudah untuk
dikaji, yang paling bisa diterangkan secara gamblang serta menjawab pertanyaan
teman-teman secara umum adalah surar At-Tahrim ayat 6. Saya ingin memberikan
ilustrasi, diatas sudah ada sasaran anak panah yang terdiri dari tiga
lingkaran, kalian pasti tahu lomba memanah dimana jika mengenai sasaran fokus
lingkaran paling kecil (warna merah) maka besar kesempatan untuk berkembang
menjadi juara atau sukses. Di sini saya
ingin mengatakan dalam surat At-Tahrim ayat 6 lafadz quuu kalau kita menggunakan pendekatan
bahasa adalah fi’il amr, fi’il
amr dalam study ulumul qur’an dan ushul fiqih untuk mengkaji ayat-ayat hukum
maka perlu perangkat yang namanya ilmu ushul fiqih, dalam kaidah ilmu ushul
fiqih dikatakan الأصل فى الأمرالنخو berarti hukum asal hukumnya perintah
adalah wajib, fi’il amr itu kata kerja perintah berarti kalau perintah maka
hukumnya wajib berarti semuanya ini wajib mengamalkan surat At-Tahrim ayat 6,
persoalanya adalah disini (surat At-Tahrim) ada urut-urutan untuk melakukan
upaya menjaga diri sendiri, menjaga keluarga, dan menjaga masyarakat dari
ancaman api neraka. Berarti kalau kita berbicara tentang ushul fiqih pertama
yang bisa kita dapatkan untuk mengkaji ayat ini adalah perintah di situ wjib
yang kedua yang menjadi objek hukum (dalam bahasa ushul fiqih itu namanya mahkum
bih) itu namanya objek fi’lul
mukalaf, kalau kita berbicara objek fi’lul mukalaf maka mahkum bihnya adalah
perbuatan mukalaf, nah perbuatan mukalaf
itu di kelompokan mana yang didahulukan dan mana yang menjadi priyoritas
selanjutnya, ternyata dalam surat At-Tahrim ayat 6 itu urut bahwa yang pertama
yang harus mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah sebenarnya bukan orang
lain tapi diri sendiri berarti kita menjadi objek, kita di sisni menjadi seorang
guru sekaligus menjadi murid. Jadi bagaimana cara kita menjaga diri kita,
keluarga serta masyarakat dari api neraka? Ternyata caranya adalah mengajak
diri kita, keluarga serta masyarakat dengan melakukan ketaatan.
- Mengutip penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa peran objek atau guru untuk mengembangkan sekolah yang pingsan pertama ada perbaiki diri sendiri terlebih dahulu.
- Menyesuaikan materinya seperti contoh materi tentang akhirat, karena tidak mungkin seseorang yang sudah menikah atau orang yang sudah lanjut usia dijelaskan tentang pernikahan otomatis dia bosan karena memang sudah alumni sudah mngalaminya, kemudian adab atau etika kita menyampaikan materi jangan seperti kita menyampaikan materi kepada anak TK yang disuruh bernyanyi keras-keras sambil lari dan bertepuk tangan.
- Dengan cara mengikuti remaja masjid (untuk remaja), mengikuti majelis ta’lim (untuk ibu-ibu).
sugoi
ReplyDeletePerfect
ReplyDelete