KHIYAR
A. Pengertian Khiyar
Khiyar menurut ulama fiqih adalah:
أَنْ يَكُوْنَ لِلْمُتَعَاقِدِ الْحَقُّ فِى اِمْضَاءِ الْعَقْدِ اَوْ فَسْخِهِ اِنْ كَانَ الْخِيَارُ شَرْطٍ اَوْ رُؤْسَةٍ اَوْ عَيْبٍ اَوْ اَنْ يَخْتَارَ اَحَدُ الْبَيْعَيْنِ اِنْ كَانَ خِيَارُ تَعِيْنٍ
“Suatu keadaan yang menyebabkan aqid memiliki hak untuk memutuskan akadnya, yakni menjadikan atau membatalkannya jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat, ‘aib atau ru’yah, atau hendaklah memilih diantara dua barang jika khiyar ta’yin.”[1]
Khiyar Menurut bahasa yaitu memilih, menyisihkan dan menyaring. Sedangkan secara umum khiyar artinya menentukan yang terbaik dari dua hal (atau lebih) untuk dijadikan orientasi.[2] Sedangkan menurut Ustad Aceng Zakaria mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kyiar adalah mengambil pilihan untuk jadi atau membatalkan jual beli setelah terjadi Ijab Qabul.[3] Jadi dapat disimpulkan dari pernyataan-pernyataan tersebut bahwa khiyar adalah hak aqid memilih yang terjadi setelah ijab qobul yang mana aqid boleh menjadikannya atau membatalkannya.
B. Jumlah Khiyar
Jumlah khiyar sangat banyak dan diantara para ulama telah terjadi perbedaan pendapat. Menurut ulama Hanafiayah, jumlahnya ada 17, sedangkan ulama Malikiyah membagi khiyar menjadi dua bagian, yaitu khiyar al-taammul (melihat,meneliti), yakni khiyar secara mutlak dan khiyar naqish (kurang), yakni apabila terdapat kekurangan atau ‘aib pada barang yang dijual. Dan menurut ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa khiyar terbagi menjadi dua, yaitu khiyar at-tasyahi, yakni khiyar yang menyebabkan pembeli memperlama transakasi sesuai dengan seleranya terhadap barang baik dalam majlis maupun syarat. Kedua adalah khiyar naqishah, yakni khiyar yang disebabkan adanya perbedaan dalam lafadz atau adanya kesalahan dalam perbuatan atau adanya pengantian.
Diantara pendapat-pendapat tersebut tentang jumlah khiyar, pendapat yang paling masyhur tentang jumlah khiyar antara lain sebagai berikut:[4]
1. Khiyar Syarat
a. Arti Khiyar Syarat
Menurut ulama fiqih, khiyar syarat adalah suatu keadaan yang membolehkan salah seorang yang akad atau masing-masing yang akad atau selain kedua pihak yang akad memiliki hak atas pembatalan atau penetapan akad selama waktu yang ditentukan. Misalnya, seorang pembeli berkata “Saya beli barang ini dari kamu, dengan catatan saya berkhiyar (pilih-pilih) selama sehari atau tiga hari”.
Yaitu mengadakan khiyar dengan mengambil batas waktu satu, dua atau tiga hari atau mungkin lebih sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Maka jika telah habis waktunya maka gugurlah dan jual belinya dianggap positif, tidak bisa dibatalkan lagi. Hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW;
عن ابن عمر ان النبي صلى الله عليه وسلم قال:كل بيعين لا بيع بينهما حت يتفرقا الابيع الخيار.
Dari Ibnu ‘Umar, sesungguhnya Nabi SAW bersabda: “setiap penjual dan pembeli tidak ada jual beli di antara mereka sampai keduanya berpisah kecuali khiyar.”
Hadits ini menunjukkan selama belum berpisah keduanya, maka masih bisa membatalkan jual belinya, kecuali jika ada khiyar, termasuk waktu tertentu yang disepakati kedua belah pihak.
b. Cara Mengunakan Khiyar Syara’
Dimaklumi bahwa akad atau jual-beli yang di dalamnya terdapat khiyar adalah akad yang tidak lazim. Dengan demikian, akad tersebut akan menjadi lazim jika khiyar tersebut gugur.
Cara menggugurkan khiyar tersebut ada tiga:
1) Pengguguran jelas (sharih)
Pengguguran sharih adalah pengguguran oleh orang yang berkhiyar seperti menyatakan, “saya batalkan khiyar dan saya ridha.” Dengan demikian, akad menjadi lazim (shahih). Sebaliknya, akad gugur dengan pernyataan “saya batalkan atau saya gugurkan akad ini.”
2) Pengguguran dengan dilalah
Pengguguran dengan dilalah adalah adanya tasharruf (beraktifitas dengan barang tersebut) dari pelaku khiyar yang menunjukkan bahwa jual-beli tersebut jadi dilakukan, seperti pembeli menghibahkan barang tersebut kepada orang lain, atau sebaliknya, pembeli mengembalikan kepemilikan kepada penjual. Pembeli menyerahkan kembali barang kepada penjual menunjukkan bahwa ia membatalkan jual-beli atau akad.
3) Pengguguran khiyar dengan adanya kemadaratan
Pengguguran khiyar dengan adanya kemadaratan terdapat dalam beberapa keadaan, antara lain berikut ini:
a) Habis waktu
Khiyar menjadi gugur setelah habis habis waktu yang telah ditetapkan walaupun tidak ada pembatalan dari yang khiyar. Dengan demikian, akad menjadi lazim.
b) Kematian orang yang memberikan syarat
Jika orang yang memberikan syarat meninggal dunia, khiyar menjadi gugur, baik yang meninggal itu sebagai pembeli maupun penjual, lalu akadpun menjadi lazim, sebab tidak mungkin membatalkannya.
c) Adanya hal-hal yang semakna dengan mati
Khiyar gugur dengan adanya perkara-perkara yang semakna dengan mati, seperti gila, mabuk, dan lain-lain. Dengan demikian, jika akal seseorang hilang karena gila, mabuk, tidur, atau hal lainnya, akad menjadi lazim.
d) Barang rusak ketika masih khiyar
Tentang rusaknya barang dalam rentang waktu khiyar terdapat beberapa masalah, apakah rusaknya setelah diserahkan kepada pembeli atau masih dipegang penjual, dan lain-lain, sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini:
Jika barang masih di tangan penjual, batallah jual-beli dan khiyarpun gugur.
Jika barang sudah pada di tangan pembeli, jual-beli batal jika khiyar berasal dari penjual, tetapi pembeli harus menggantinya. Jika barang sudah ada di pembeli dan khiyar berasal dari pembeli, jual-beli menjadi lazim dan khiyarpun gugur.
Ulama Syfi’iyah seperti halnya ulama Hanafiyah berpendapat bahwa jika barang rusak dengan sendirinya, khiyar gugur dan jual-beli pun batal.
e) Adanya cacat pada barang
Dalam masalah ini ada beberapa penjelasan. Jika khiyar berasal dari penjual, dan cacat terjadi dengan sendirinya, khiyar gugur dan jual-beli pun gagal. Akan tetapi, jika cacat karena perbuatan pembeli atau orang lain, khiyar tidak gugur, tetapi pembeli berhak khiyar dan bertanggung jawab atas kerusakannya. Begitu juga jika orang lain yang merusaknya, ia bertanggung jawab atas kerusakannya. Tetapi jika khiyar berasal dari pembeli dan cacat, khiyar gugur, tetapi jual-beli tidak gugur, sebab barang berada pada tanggung jawab pembeli.
c. Khiyar Masyru’ (disyariatkan) dan Khiyar Rusak
1) Khiyar masyru’ (disyariatkan)
Yaitu khiyar yang ditetapkan batasan waktunya. Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah SAW tentang riwayat Hibban Ibn Munqib yang menipu dala jual-beli, kemudian perbuatannya itu dilaporkan kepada Raulullah SAW lalu belu bersabda:
اِذَابَايَعْتَ فَقُلْ: لَاخِلَا بَةَ وَلِى الَخِيَارُ ثَلَا ثَةَ اَيَّامٍ ﴿رواه مسلم﴾
“Jika kamu berransaksi (jual-beli), katakanlah tidak ada penipuan dan saya khiyar selama tiga hari” (HR. Muslim)
2) Khiyar Rusak
Menurut pendapat paling masyhur dikalangan ulama Hanafiah, syafi’iyah, dan Hambaliyah, Khiyar yang tidak jelas batasan waktunya adalah tidak sah, seperti pernyataan “Saya beli barang ini dengan syarat saya khiyar selamanya” perbuatan ini mengandung unsur Jahalah (ketidak jelasan).
3) Batasan Khiyar Masyru’
Ulama Hanafiyah, Jafar, dan Syafi’iyah berpendapat bahwa khiyar dibolehkan dengan waktu yang ditentukan selagi tidak lebih dari tiga hari. Golongan ini selain beralasan dengan hadits dari Munqid di atas, juga mendasarkan pada hadits dari Ibn Umar tentang pernyataan Anas:
ان رجلا اشتر ى من رجل بعيرا واشترط عليه الحيار اربعة ايام. فابطل رسول الله ص.م. البيع وقال: الخيار ثلاثة ايام.
“Seseorang laki-laki membeli seekor unta dari laki-laki lainnya, dan ia mensyaratkan khiyar selama empat hari. Rasulullah SAW. Membatalkan jual-beli tersebut dan bersabda, “khiyar adalah tiga hari.” (HR. Abdurrazaq)
d. Hukum Akad pada Masa Khiyar
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa tidak terjadi akad pada jual-beli yang mengandung khiyar, tetapi ditunggu sampai gugurnya khiyar.
Adapun menurut ulama Malikiyah dalam riwayat Ahmad, barang yang ada pada masa khiyar masih milik penjual, sampai gugurnya khiyar, sedangkan pembeli belum memiliki hak sempurna terhadap barang.
Ulama Syafi’iyah berpendapat, jika khiyar syarat berasal dari pembeli, barang menjadi milik pembeli. Sebaliknya, jika khiyar berasal dari penjual, barang menjadi hak penjual. Jika khiyar syarat berasal dari penjual dan pembeli, ditunggu sampai jelas (gugurnya khiyar).
Adapun menurut ulama Hanabilah, dari siapapun khiyar berasal, barang tesebut menjadi milik pembeli. Jual-beli dengan khiyar, sama seperti jual-beli lainnya, yakni menjadikan pembeli sebagai pemilik barang yang tadinya milik penjual. Mereka mendasarkan pada hadits Nabi SAW. dari Iibn Umar:
من باع عبدا وله مال فماله للب ئع الا ان يشترط المبتاع
“barang siapa yang menjual hamba yang memiliki harta, maka harta tersebut milik penjual, kecuali pembeli memberikan syarat.”
Pada hadits tersebut, Rasulullah SAW. menetapkan bahwa harta menjadi milik pembeli dengan adanya syarat.
2. Khiyar Majlis
Khiyar majlis menurut pengertian ulama fiqih adalah:
اَنْ يَكُوْنَ لِكًلِّ مِنَ الْعَا قِدَيْنِ حَقٌّ فَسْخُ الْعَقْدِ مَا دَامَ فِى مجْلِسِ الْعَقْدِ لَمْ يَتَفَرَّ قَا بِاَبْدَا نِهَا يُخَيِّرُ اَحَدُ هُمَاالاَخَرَ فَيُخْتَارُ لُزُوْمُ الْعَقْدِ.
“ Hak bagi semua oihak yang melakukan akad untuk membatalkan akad selagi maih berada di tempat akad dan kedua pihak belum berpisah. Keduanya saling memilih sehingga muncul kelziman dalam akad”
Jadi khiyar majlis yaitu memilih antara jadi dan tidak selama masih dalam satu majlis artinya belum berpisah jika sudah berpisah maka tidak ada khiyar, sedangkan ukuran majlisnya itu relatif, bisa kecil seperti keluar dari rumah, bisa lebih besar seperti keluar dari toko atau mall.
Masa habisnya khiyar majlis apabila:
a. Keduanya memilih akan meneruskan akad. Jika salah seorang dari keduanya memilih akan meneruskan akad, habislah khiyar dari pihaknya, tetapi hak yang lain masih tetap.
b. Keduanya terpisah dari tempat jual-beli. Arti berpisah ialah menurut kebiasaan, apabila kebiasaan telah menghukum bahwa keadaan keduanya sudah berpisah, tetaplah jual-beli antara keduanya. Kalau keadaan mengatakan belum berpisah, masih terbukalah pintu khiyar antara keduanya. Kalau keduanya berselisih, umpamanya seorang mengatakan sudah berpisah, sedangkan yang lain mengatakan belum, yang mengatakan belum hendaklah dibenarkan dengan sumpahnya, karena yang asal belum berpisah.
3. Khiyar ‘Aib
a. Arti Khiyar ‘Aib
Khiyar a’ib yaitu membuat khiyar karena terdapat a’ib atau cacat dalam barang yang diperjualbelikan. Seseorang hendaklah menjual barangnya dengan transparan, jika mulus katakanlah mulus dan jika cacat katakanlah cacat. Tidak boleh (haram) menyembunyikan cacat pada barang yang dijual, sebagaimana sabda Nabi SAW:
قال رسول الله ص.م: لا يحل لمسلم باع من اخيه بيعا وفيه عيب الا بينه. – رواه احمد-
Nabi SAW bersabda: “tidak halal seorang muslim menjual barang kepada saudaranya yang muslim yang terdapat cacat kecuali ia harus menjelaskannya.” (H.R Ahmad)
Dengan demikian, bila seseorang membeli barang yang ternyata ada cacatnya, maka ia boleh mengembalikannya lagi. Tetapi jika pembeli membeli sesuatu dan ia sudah mengetahui cacatnya sejak awal dan ia setuju untuk membelinya, maka sah jual-belinya dan jika terjadi perselisihan antara penjual dan pembeli tentang cacat dalam barang tersebut setelah berpisah, maka ucapan yang kuat adalah ucapan si penjual, karena ada Qaidah (penjelasan):
الاصل العدم.
“asalnya adalah tidak ada.”
Yaitu tidak ada cacat. Oleh karenanya tidak ada khiyar kecuali jika si penjual menyetujuinya. Tetapi jika sejak awal sudah dibuat perjanjian, dimana barang yang sudah dibeli tidak boleh dikembalikan lagi dan si pembeli menyetujuinya, maka dalam hal ini tentu saja tidak ada khiyar, seperti membeli obat ke apotek yang telah ditentukan sejak awal tidak boleh dikembalikan lagi.
b. ‘Aib mengharuskan khiyar
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ‘aib pada khiyar adalah segala sesuatu yang menunjukkan adanya kekurangan dari aslinya, misalnya berkurang nilainya menurut adat, baik berkurang sedikit atau banyak.
Menurut ulama Syafi’iyah adalah segala sesuatu yang dapat dipandang berkurang nilainya dari barang yang dimaksud atau tidak adanya barang yang dimaksud, seperti sempitnya sepatu, potongnya tanduk binatang yang akan dijadikan kurban.
c. Syarat tetapnya khiyar
Disyaratkan untuk tepatnya khiyar ‘aib setelah diadakan penelitian yang menunjukkan:
1) Adanya ‘aib setelah akad atau sebelum diserahkan, yakni ‘aib tersebut telah lama ada. Jika adanya setelah penyerahan atau ketika berada di tangan pembeli, ‘aib tersebut tidak tetep.
2) Pembeli tidak mengetahui adanya cacat ketika akad dan ketika menerima barang. Sebaliknya, jika pembeli sudah mengetahui adanya cacat setelah menerima barang, tidak ada khiyar sebab ia dianggap telah ridha.
3) Pemilik barang tidak mensyaratkan agar pembeli membebaskan jika ada cacat. Dengan demikian, jika penjual mensyaratkannya, tidak ada khiyar. Jika pembeli membebaskannya, gugurlah hak dirinya.
d. Waktu khiyar ‘aib
Khiyar ‘aib tetap ada sejak munculnya cacat walaupun akad telah berlangsung cukup lama. Mengenai membatalkan akad setelah diketahui adanya cacat, baik secara langsung atau ditangguhkan, terdapat dua pendapat.
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa membatalkan akad setelah diketahui adanya cacat adalah ditangguhkan, yakni tidak disyaratkan secara langsung.
Adapun ulama Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa pembatalan akad harus dilakukan sewaktu diketahuinya cacat, yakni secara langsung menurut adat, tidak boleh ditangguhkan.
e. Cara pengembalian akad
Apabila barang berada di tangan pemilik pertama, yakni belum diserahkan kepada pembeli, akad dianggap telah dikembalikan (dibatalkan), dengan ucapan, “Saya kembalikan.” Dalam hal ini tidak memerlukan seorang hakim, tidak pula membutuhkan keridaan.
f. Hukum akad dalam khiyar ‘aib
Hak pemilik barang khiyar yang masih memungkinkan adanya ‘aib berada di tangan pada pembeli sebab jika tidak terdapat kecacatan, barang tersebut adalah milik pembeli secara lazim.
Dampak dari khiyar ‘aib adalah menjadikan akad tidak lazim bagi yang berhak khiyar, baik rela atas cacat tersebut sehingga batal khiyar dan akad menjadi lazim, atau mengembalikan barang kepada pemiliknya sehingga akad batal.
g. Perkara yang menghalangi untuk mengembalikan barang ma’qud ‘alaih (barang) yang cacat tidak boleh dikembalikan dan akad menjadi lazim dengan adanya sebab-sebab berikut:
1) Rida setelah mengetahui adanya cacat, baik secara jelas diucapkan atau adanya petunjuk, seperti menggunakan barangnya (ber-tasharruf) yang menunjukkan atas keridaan barang yang cacat, seperti memakannya, menghadiahkannya, dan lain-lain.
2) Menggugurkan khiyar, baik secara jelas, serperti berkata, “saya gugurkan khiyar” atau adanya petunjuk, seperti membebaskan adanya cacat pada ma’qud alaih (barang).
3) Barang rusak karena perbuatan pembeli atau berubah dari bentuk aslinya.
4) Adanya tambahan pada barang yang bersatu dengan barang tersebut dan bukan berasal dari aslinya atau tambahan yang terpisah dari barang, tetapai berasal dari aslinya, seperti munculnya buah atau lahirnya anak.
h. Mewariskan Khiyar ’Aib
Ulama fiqih sepakat bahwa khiyar ‘aib dan khiyar ta’yin diwariskan sebab berhubungan dengan barang. Dengan demikian, jika yang memiliki hak khiyar ‘aib itu meninggal, ahli warisnya memiliki hak untuk meneruskan khiyar sebab ahli waris memiliki hak menerima barang yang selamat dari cacat.
C. Hikmah Khiyar
Diantara hikmah khiyar adalah:
1. Khiyar dapat membuat akad jual beli berlangsung memenuhi prinsip–prinsip islam, yaitu suka sama suka antar sesama pembeli dan penjual.
2. Pembeli mendapatkan barang dagangan yang baik atau benar-benar yang di sukainya.
3. Terhindar dari unsur- unsur penipuan baik dari pihak pembeli maupun penjual, karena tidak adanya kehati-hatian.
4. Khiyar dapat memelihara hubungan baik dan terjalin cinta kasih antar sesama.
5. Menghindari rasa permusuhan.
6. Mendidik kepada para pedangang agar selalu bersikap jujur.
RAHN
A. Pengertian Rahn
Gadai atau al-rahn (الرهن) secara bahasa dapat diartikan sebagai al stubut wadawam (tetap dan lama), yakni berarti (pengenkangan dan keharusan.
Ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikan rahn :
1. Menurut ulama Syafi’iyah :
Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar hutang.
2. Menurut ulama Hanabilah :
Harta yang dijadikan jaminan hutang sebagai pembayar harga (nilai) hutang ketika yang berutang berhalangan (tidak mampu membayar) hutangnya kepada pemberi pinjaman.
3. Menurut ulama Malikiyah
Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat.
Adapun menurut Azhar Basyir memaknai rahn (gadai) sebagai perbuatan menjadikan suatu benda yang bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan uang, dimana adanya benda yang menjadi tanggungan itu di seluruh atau sebagian utang dapat di terima. Dalam hukum adat gadai di artikan sebagai menyerahkan tanah untuk menerima sejumlah uang secara tunai, dengan ketentuan si penjual (penggadai) tetap berhak atas pengembalian tanahnya dengan jalan menebusnya kembali. Menurut Muhammad Syafi’I Antonio, ar-rahn adalah menahan harta salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Menurut Masjfuk Zuhdi, ar-rahn adalah perjanjian (akad) pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan hutang. Sementara menurut al-Ustad H.Idris Ahmad berpandangan, ar-rahn adalah menjadikan harta benda sebagai jaminan atas utang.
Selanjutnya Imam Taqiyyuddin Abu-Bakar Al-Husaini dalam kitabnya Kifayatul Ahyar Fii Halli Ghayati Al-Ikhtisar berpendapat bahwa definisi rahn adalah: “Akad/perjanjian utang-piutang dengan menjadikan harta sebagai kepercayaan/penguat utang dan yang memberi pinjaman berhak menjual barang yang digadaikan itu pada saat ia menuntut haknya”. Dalam buku lain didefinisikan bahwa rahn adalah menahan sesuatu dengan hak yang memungkinkan pengambilan manfaat darinya atau menjadikan sesuatu yang bernilai ekonomis pada pandangan syari’ah sebagai kepercayaan atas hutang yang memungkinkan pengambilan hutang secara keseluruhan atau sebagian dari barang itu.
Sedangkan dalam dunia perbankan syari`ah biasa disebut dengan agunan dan jaminan.Agunan adalah jamianan tambahan,baik berupa benda bergerak menerima maupun tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik agunan kepada bank syari`ah/UUS,gunah menjamin pelunasan kewajiban nasabah penerima fasilitas.dari ketentuan pasal 1 angka 26 tersebut terdapat dua istilah,yaitu”agunan dan jaminan”
Dengan demikian gadai menurut syariat Islam berarti penahanan atau pengekangan. Sehingga dengan adanya akad gadai menggadai, kedua belah pihak mempunyai tanggung jawab bersama, yang punya utang bertanggung jawab melunasi utangnya dan yang berpiutang bertanggug jawab menjamin keutuhan barang jaminannya. Apabila utang telah dibayar maka pemahaman oleh sebab akad itu dilepas, dan keadaannya bebas dari tanggung jawab dan kewajiban masing-masing.
B. Sifat Rahn
Secara umum rahn dikatagorikan sebagai akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan penggadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu. Yang diberikan murathin kepada rahin adalah uang. Bukan penukar atas barang yang digadaikan.
Rahn juga termasuk akad yang bersifat ‘ainiyah, yaitu dikatakan sempurna apabila sudah menyerahkan benda yang dijadikan akad, seperti hibah, pinjam meminajam, titipan dan qirad.
C. Dasar Hukum Rahn
Akad rahn diperbolehkan oleh syara’ dengan berbagai dalil Al-Qur’an ataupun Hadits nabi SAW. Begitu juga dalam ijma’ ulama’. Diantaranya firman Allah dalam Qs.Al-baqarah; 283
وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَه وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ ۚ وَمَن يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَعَلِيمٌ ُ
"Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah secara tidak tunai) sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh piutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya". (Al-Baqarah 283).
Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah dari Anas r.a berkata:
عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – قال : لَقَدْ رَهَنَ النَّبِىُّ – صل الله عليه وسلم – دِرْعًا لَهُ بِالْمَدِينَةِ عِنْدَ يَهُودِىٍّ وَأَخَذَ مِنْهُ شَعِيرًا ى
" Rasullulah SAW, telah merungguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Madina, sewaktu beliau menghutang syair (gandum) dari orang Yahudi itu untuk keluarga itu untuk keluarga beliau". (HR. Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah).
Para ulama’ semua berpendapat, bahwa perjanjian gadai hukumnya mubah (boleh).Dan itu termuat dalam DNS Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002, Namun ada yag berpegang pada zahir ayat, yaitu gadai hanya diperbolehkan dalam keadaan berpergian saja, seperti paham yang di anut oleh Madhab Zahiri, Mujahid dan al-Dhahak. Sedangkan jumhur (kebanyakan ulama) membolehkan gadai, baik dalam keadaan berpergian maupun tidak, seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah di Madinah, seperti telah disebutkan dalam hadist di atas.
D. Rukun Rahn
Rahn memiliki empat unsur yaitu rahin (orang yang memberikan jaminan), al murtahin (orang yang menerima), al marhun (jaminan), dan al marhun nih (utang).
Menurut ulama hanafiyah rukun rahn ijab dan qabul dari rahin dan al murtahin, sebagaimana pada akad lainnya. Akan tetapi akad dalam rahn tidak akan sempurna sebelum adanya penyerahan barang.
Adapun menurut ulama selain hanafiytah, rukun rahn adalah shigat, aqid (orang yang akad), marhun, dan marhun nih.
E. Syarat Rahn
1. Rahin dan murtahin
Tentang pemberi dan penerima gadai disyaratkan keduanya merupakan orang yang cakap untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan syari'at Islam yaitu berakal dan baligh.
Dengan demikian anak kecil yang belum mumayyiz, orang gila, orang bodoh, dan orang yang mabuk tidak diperbolehkan melakukan gadai.
2. Sighat
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa sighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena sebab rahn jual beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.
Adapun Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan bahwa apabila syarat itu adalah syarat yang mendukung kelancaran akad, maka syarat diperbolehkan, tetapi apabila syarat itu bertentangan dengan tabi’at rahn maka syarat akan batal. Adapun syarat yang diperbolehkan, misalnya, untuk sahnya ar-rahn itu pihak pemberi utang minta agar akad itu disaksikan oleh dua orang saksi.
3. Marhun bih (utang)
Menyangkut adanya utang, bahwa utang tersebut disyaratkan merupakan utang yang tetap, dengan kata lain utang tersebut bukan merupakan utang yang bertambah-tambah atau utang yang mempunyai bunga, sebab seandainya utang tersebut merupakan utang yang berbunga maka perjanjian tersebut sudah merupakan perjanjian yang mengandung unsur riba, sedangkan perbuatan riba ini bertentangan dengan ketentuan syari'at Islam
4. Marhun (barang yang dijadikan agunan)
Menurut para fiqih adalah barang jaminan itu bernilai harta yang dapat dengan utang, barang jaminan itu bernilai harta yang dapat dimanfaatkan, barang jaminan itu harus jelas dan tertentu, agunan itu milik sah orang yang berutang dan tidak terkait dengan hak orang lain, barang jaminan itu merupakan barang yang utuh dan tidak terpisah-pisah , dan ia dapat diserahkan baik materinya maupun manfaatnya.
F. Hukum Rahn dan Dampat Rahn
Hukum rahn secara umum terbagi menjadi yaitu sahih dan ghair sahih, rahn sahih adalah rahn yang memenuhi syarat-syarat rahn. Sedangkan rahn ghair sahih adalah rahn yang tidak memenuhi syarat pada asal akad seperti aqid yang tidak ahli (rahnnya batal), dan ada juga yang tidak terpenuhi sifat akadnya seperti borg berkaitan dengan barang lain.
Adapun dampak rahn yang sahih adalah sebagai berikut :
1. Kedudukan Barang Gadai.
Selama ada di tangan pemegang gadai, maka kedudukan barang gadai hanya merupakan suatu amanat yang dipercayakan kepadanya oleh pihak penggadai.
2. Pemanfaatan Barang Gadai.
Pada dasarnya barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya baik oleh pemiliknya maupun oleh penerima gadai. Hal ini disebabkan status barang tersebut hanya sebagai jaminan utang dan sebagai amanat bagi penerimanya. Apabila mendapat izin dari masing-masing pihak yang bersangkutan, maka barang tersebut boleh dimanfaatkan. Oleh karena itu agar di dalam perjanjian gadai itu tercantum ketentuan jika penggadai atau penerima gadai meminta izin untuk memanfaatkan barang gadai, maka hasilnya menjadi milik bersama. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari harta benda tidak berfungsi atau mubazir.
3. Resiko Atas Kerusakan Barang Gadai
Ada beberapa pendapat mengenai kerusakan barang gadai yang di sebabkan tanpa kesengajaan murtahin. Ulama mazhab Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa murtahin (penerima gadai) tidak menanggung resiko sebesar harga barang yang minimum. Penghitungan di mulai pada saat diserahkannya barang gadai kepada murtahin sampai hari rusak atau hilang.
4. Pemeliharaan Barang Gadai
Para ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggungan penggadai dengan alasan bahwa barang tersebut berasal dari penggadai dan tetap merupakan miliknya. Sedangkan para ulama’ Hanafiyah berpendapat lain, biaya yang diperlukan untuk menyimpan dan memelihara keselamatan barang gadai menjadi tanggungan penerima gadai dalam kedudukanya sebagai orang yang menerima amanat.
5. Kategori Barang Gadai
Jenis barang yang biasa digadaikan sebagai jaminan adalah semua barang bergerak dan tak bergerak yang memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Benda bernilai menurut hukum syara’
b. Benda berwujud pada waktu perjanjian terjadi
c. Benda diserahkan seketika kepada murtahin
6. Pembayaran atau Pelunasan Utang Gadai.
Apabila sampai pada waktu yang sudah di tentukan, rahin belum juga membayar kembali utangnya, maka rahin dapat dipaksa oleh marhun untuk menjual barang gadaianya dan kemudian digunakan untuk melunasi hutangnya.
7. Prosedur Pelelangan Gadai
Jumhur fukaha berpendapat bahwa orang yang menggadaikan tidak boleh menjual atau menghibahkan barang gadai, sedangkan bagi penerima gadai dibolehkan menjual barang tersebut dengan syarat pada saat jatuh tempo pihak penggadai tidak dapat melunasi kewajibanya.
G. Akhir Rahn
Berakhirnya akad rahn(gadai),adalah karena hal hal berikut :
1. Barang telah diserahkan kembali pada pemiliknya
2. Rahin(penggadai)membayar hutangnya
3. Dijual secara pakasa
4. Pembatalan oleh murtahin,meskipun tidak ada persetujuan dari pihak rahin.
5. Rusaknya barang gadaian oleh tindakan/penggunaan murtahin.
6. Memanfatkan barang gadai dengan penyewaan,hibah,atau sedekah,baik dari pihak rahin atau murtahin
7. Meningglnya rahin (menurut Malikiyah) atau murtahin (menurut Hanafiyah). sedangkan syafi`iyah dan Hambali,menganggap kematian para pihak tidak mengakhiri akad rahn.
Adapun mengenai cara berakhirnya atau hapusnya suatu gadai menurut KUH Perdata adalah sebagai berikut:
1. Hak gadai hapus apabila hutang telah dibayar oleh si berutang.
2. Hak gadai hapus apabila barang yang di gadaikan keluar dari kekuasaan si penerima gadai.
3. Apabila sudah dilepaskan oleh penerima gadai melunasi atas dasar atau kemauan sendiri dari penerima gadai maka penerima gadai mengembalikan barang yang digadai pada pemberi gadai.
4. Karena persetujuan gadai bersifat uccessoir yang jika perjanjian pokok berakhir maka dengan sendirinya gadai pun berakhir.
5. Bila barang yang digadaikan musnah atau terbakar diluar kehendak atau kemampuan pemegang gadai..
6. Barang gadai menjadi milik dari si pemegang gadai atas kesepakatan atau persetujuan dari si pemberi gadai (pengalihan hak milik atas kesepakatan).
Berakhirnya gadai dapat juga berakhir apabila tanah gadai musnah karena bencana alam atau lainnya, maka perjanjian gadai berakhir dan pemegang gadai tidak berhak untuk meminta uang gadainya kembali dari penggadai. Benda gadai dilepaskan dari penguasaan pemberi gadai (debitur), maka benda gadai harus dialihkan dalam penguasaan Perum Pegadaian (kreditur).
Berdasarkan Pasal 1152 ayat (4) KUH Perdata dijelaskan si kreditur (pemegang gadai) akan tetap mendapatkan hak gadai tersebut meskipun si pemberi gadai(debitur) bukanlah orang yang memiliki barang tersebut.dalam kasus ini, pegadaian sebagai pemegang gadai kreditur beritikad baik, sehingga kreditur tersebut yang telah menerima benda gadai orang lain yang berstatus sebagai detentor dari benda yang digadaikan, tetap mendapatkan hak gadai secara sah atas benda itu. Karena kreditur pemegang gadai(pegadaian) dilindungi terhadap pemilik (eigenaar dari benda gadai).
PERTANYAAN
1. Misalkan saya ingin meminjam uang sebesar 500.000 dengan memberikan jaminan atau barang gadai yang harganya itu lebih besar/lebih kecil dari uang yang saya pinjam itu bagaimana?
2. Jika ada yang menggadaikan sawah apakah boleh sawah tersebut dimanfaatkan oleh orang yang menerima gadai dari sipegadai?
3. Mengenai khiyar jual beli apakah boleh kita membeli barang hasil curian?
JAWABAN
1. Dalam hal ini diusahakan barang yang digadai adalah barang yang harganya sesuai dengan pinjaman, jadi diantara rahin dan murtahin tidak ada yang namanya riba, semisalya anda(rahin) meminjam 500.000 dengan barang gadaian yang harga jualnya cuma 400.000 maka yang 100.000 yang didapat oleh anda adalah uang riba, begitupun sebaliknya jika harga barang lebih besar dari pinjaman kalau memang nanti rahin tidak bisa melunasi maka akan dijual oleh murtahin dan uang lebihan dari jumlah pinjaman akan menjadi riba.
2. Tergantung dari akad antara rahin dan murtahin, tapi bagaimanapun juga barang gadaian(marhun) itu bukan sepenuhnya hak murtahin, jadi jika murtahin ingin memanfaatkan barang gadaian tersebut tentu harus dengan seijin rahin, tapi dikenyataan sekarang tidak seperti itu mau seijin rahin atau tidak seijin rahin tetap saja dimananfaatkan itu mungkin sudah menjadi adat.
3. Jika kita tahu kita tidak boleh membelinya karena dari caranya mencuri itu sudah menjadi haram, tapi jika kita tidak tahu kemudian kita membeli dan setelah beberapa hari mengetahuinya maka kita meminta pertanggung jawaban dari penjual tentang barangnya selama masih dalam masa khiyar.
0 comments:
Post a Comment