PageNavi Results No.

Thursday, February 9

Fiqih muamalah "makalah jual beli, plus tanya jawab dan ppt"

BAB I
Pendahuluan

A.    Latar Belakang
     Manusia adalah makhluk sosial, yakni tidak dapat hidup sendiri dan selalu  membutuhkan orang lain dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Terutama dalam hal muamalah, seperti jual beli, pinjam meminjam, sewa menyewa hingga urusan utang piutang maupun usaha- usaha yang lain, baik dalam urusan diri sendiri maupun untuk kemaslahatan umum.Namun sering kali dalam kehidupan sehari-hari banyak kita temui kecurangan-kecurangan dalam urusan muamalah ini, seperti riba yang sangat meresahkan dan merugikan masyarakat.Untuk menjawab segala problema tersebut, agama memberikan peraturan dan pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kita yang telah diatur sedemikian rupa dan termaktub dalam Al-Qur’an dan hadits, dan tentunya untuk kita pelajari dengan sebaik-baiknya pula agar hubungan antar manusia berjalan dengan lancar dan teratur. Oleh karena itu, dalam makalah ini, sengaja kami bahas mengenai jual beli, pinjam meminjam dan sewa menyewa karena ketiganya sangat kental dengan kehidupan masyarakat.
B.     Rumusan Masalah
a. Apakah pengertian jual beli,pinjam meminjam dan sewa menyewa  menurut islam
b. Apa hukum dari jual beli,pinjam meminjam dan sewa menyewa
c. Apa saja syarat-syarat dan rukun dalam jaual beli,pinjam meminjam dan sewa menyewa
d. Apa hikmah yang dapat kita ambil dari jual beli,pinjam meminjam dan sewa menyewa
C.    Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari jual beli,pinjam meminjam dan sewa menyewa
2. Untuk mengetahui hukum dari jual beli,pinjam meminjam,dan sewa menyewa
3. Untuk menjelaskan syarat dan rukun dalam jual beli,pinjam meminjam dan sewa menyewa
4. Untuk mengambil hikmah dari jual beli,pinjam meminjam dan sewa menyewa





KATA PENGANTAR
Puji syukur  penulis panjatkan ke hadirat Alloh SWT yang mana atas rahmat dan karunia_Nya sehingga selesailah makalah ini. Di dalam makalah ini penulis membahas tentang  “Jual Beli, Pinjam Meminjam dan Sewa Menyewa”
    Tak lupa penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pengampu bpk. Muhammad Syauqi MA. Pd. Adapun makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih II.
Makalah ini sudah tentu jauh dari sempurna. Kritik dan saran sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah ini. Tidak luput kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu atas terselesaikannya makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.


BAB II
PEMBAHASAN

Jual beli
Pengertian jual-beli
Menurut etimologi, jual-beli diartikan مُقَابَلَةُ شَيْءٍ بِشَيْء (Pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain)).
Kata lain dari al-bai’i adalah asy-syiro, al-mubada, dan at-tijaroh. Berkenaan dengan kata at-tijaroh,dalam al-quran surat fathir ayat 29 dinyatakan:
يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ
Artinya: “Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi”.
Adapun jual-beli menurut terminologi, para ulama berpendapat dalam mendefinisikannya antara lain:
a. Menurut ulama Hanafiyah : “Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan)”. (Alauddin al-Kasani, Bada’i ash-Shana’I fi Tartib asy-Syara’i, juz 5, hal. 133)
b. Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ : “Pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”. (Muhammad asy-Syarbini, Mugni al-Muhtaj, juz 2, hal. 2)
c. Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni : “ Pertukaran harta dengan harta untuk saling menjadikan milik”. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, juz 3, hal. 559)
d. Tukar menukar harta meskipun ada dalam tanggungan atau kemanfaatan yang mubah dengan sesuatu yang semisal dengan keduanya, untuk memberikan secara tetap (Raudh al-Nadii Syarah Kafi al-Muhtadi, 203).
e. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling ridha. (Idris Ahmad, Fiqh al-Syafi’iyah)

Rukun Jual beli

1.Penjual dan pembeli
Syaratnya adalah:
Berakal,agar dia tidak terkecoh. Orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya.
Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa). Keterangannya yaitu ayat diatas (suka sama suka)
Tidak mubadzir (pemboros),sebab harta orang yang mubadzir itu di tangan walinya.
Firman Allah SWT :
(ANNISA:5)
Baligh (berumur 15 tahun ke atas atau dewasa).



2. Uang dan benda yang di beli
Syaratnya adalah:
Suci
Ada manfaatnya
Barang itu dapat di serahkan.
Barang tersebut merupakan kepunyaan si penjual,kepunyaan yang diwakilinya , atau yang mengusahakan (riwayat abu daud dan tirmidzi)
Barang tersebut diketahui oleh si penjual dan si pembeli;dzat ,bentuk,kadar(ukuran),dan sifat-sifatnya.
3. Lafadz Ijab dan Qobul
Ijab adalah perkataan penjual,umpamanya,”Saya jual barang ini sekian.”.Qobul adalah ucapan si pembeli ,”Saya terima (Saya beli)dengan harga sekian.”(riwayat ibnu Hibban)
Menurut ulama yng mewajibkan lafadz, lafadz itu diwajibkan memenuhi beberapa syarat:
Keadaan ijab dan qabul berhubungan. Artinya, salah satu dari keduanya pantas menjadi jawaban dari yang lain dan belum berselang lama.
Makna kedunya hendaklah mufakat (sama) walaupun lafadz keduanya berlainan.
Keduanya tidak disangkutkan dengan urusan yang lain, seperti katanya,”kalau saya jadi pergi, saya jual barang ini sekian”.
Tidak berwaktu, sebab jual beli berwaktu seperti sebulan atau setahun-tidak sah.

Jual Beli Yang Dilarang
a.  Terlarang karena kurang syarat atau rukun
-  Jual beli system ijon (belum jelas barangnya)
Jual beli ini dilarang karena barang yang akan dibeli masih samar.
عن بيع الثما رحتى يبد وصلا حيامتفق عليهعن ابن مر نهى النبى ص م
“dari Ibnu Umar ra. Nabi saw melarang jual beli buah-buahansehingga nyata baiknya buah itu”.(Muttafaq ‘alaih)
-  Jual beli anak binatang ternak yang masih di dalam kandungan
Jual beli ini dilarang karena barangnya belum ada dan tidak tampak juga.
-  Jual beli sperma hewan
Jual beli sperma hewan, seperti mengawinkan seekor domba jantan dengan betina, agar dapat memperoleh turunan.
رواه مسلمعن بيع فضل الماءنهى رسول الله ص معن جابربن عبدالله قا ل
“Rasulullah saw telah melarang jual beli air jantan binatang.”(HR. Muslim).
-  Jual beli barang yang belum dimiliki
رواه احموالبيهقىم:قال رسول الله ص د لا تبيعن شيأ استريته حتى تقبضه
Artinya: “Nabi saw telah bersabda janganlah engkau menjual sesuatu yang baru saja engkau beli sehingga engkau menerima (memegangbarang itu)”. (HR. Ahmad Baihaqi).
b. Jual beli yang sah tetapi terlarang
- Jual beli pada waktu khutbah/sholat Jum’at bagi laki-laki.
- Jual beli dengan niat untuk ditimbun saat masyarakat membutuhkan
قال رسول الله ص م لا يختكر الا خا طىءمسلم
“Rasulullah saw telah bersabda tidaklah seseorang menimbun barang kecuali orang yang durhaka”. (HR. Muslim).
-          Jual beli yang tidak mengetahui harga pasar
-          Jual beli yang masih dalam tawaran orang lain
-          Jual beli untuk kemaksiatan
Hikmah Jual Beli
Allah mensyari’atkan jual beli sebagai penberian keluangan dan keleluasaan dari-NYA untuk hamba-hamba-NYA, yang  membawa hikmah bagi manusia diantaranya:
Jual beli dapat menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang menghargai hak milik orang lain.
Penjual dan pembeli dapat memenuhi kebutuhannya atas dasar kerelaan.
Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram atau secara bathil.
Penjual dan pembeli sama-sama mendapat rizki Allah
Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan
Pinjam-meminjam ( ‘ariyah)
Pinjam meminjam dalam bahasa Arab disebut “Ariyah”. Kata “Ariyah” menurut bahasa artinya pinjaman. Pinjam-meminjam menurut istilah ‘Syara” ialah akad berupa pemberian mamfaat suatu benda halal dari seseorang kepada orang lain tanpa ada imbalan dengan tidak mengurangi atau merusak benda itu dan dikembalikan setelah diambil memfaatnya.
Allah swt. Berfirman:
Artinya; “Dan tolong-memolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong memolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-nya.” (Al-Ma’idah: 2).

Rasullullah saw. Bersabda:
Artinya; “Dan Allah menolong hamba-n-Nya selama hamba itu mau menolong saudaranya.”

Dalam hadis lain Rarulullah saw. Bersabda:
Artinya;“Dari Abu Umamah ra. Dari Nabi saw. bersabda, “Pinjaman itu harus dikembalikan dan orang yang meminjam dialah yang berutang, dan utang itu wajib dibayar.” (HR. At-Turmudzi).
Pembicaraan mengenai ‘ariyah (pinjaman) mencakup rukun rukun dan hukum-hukum pinjaman. Rukun-rukun pinjaman ada Iima: peminjaman (al-‘ariyah), orang yang meminjamkan (al-mu’ir), peminjam (al-musta’ir), barang yang dipinjamkan (al-mu’ar) dan sirighat (ungkapan pemberian pinjaman).
A. Hukum Memberikan Pinjaman
Memberikan pinjaman adalah perbuatan yang baik dan dianjurkan. Bahkan sebagian ulama salaf sangat menekankan hal mi, berdasarkan firman Allah
وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ
“Dan mereka enggan menolong dengan (meminjamkan) perabot
rumah tangga (atau barang yang berguna).” (QS. al-Ma’un: 7)
Diriwayatkan dan Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Mas’ud r.a. bahwa menurut keduanya yang dimaksud dengan al-ma’un adalah perabot rumah tangga yang lazim dipinjamkan di antara manusia, seperti pacul, timba, tali, kuali, dan sebagainya.
B. Orang yang Meminjamkan dan Macam Barang yang Dipinjamkan
Orang yang meminjamkan tidak dianggap sah kecuali jika barang yang dipinjamkan itu henar-benar menjadi miliknya, baik terhadap pokok barang itu sendiri maupun manfaatnya. Pendat yang Iebih kuat adalah bahwa pinjaman itu tidak sah diberi oleh orang yang meminjamnya, yakni bahwa ia tidak boleh meminjamkan barang pinjaman tersebut.
C. Shighat Pemberian Pinjaman
Adalah ungkapan pemberian pinjaman ialah setiap kata yang menunjukkan pemberian izin.
Menarik Kembali Barang Pinjaman
Pemberi pinjaman boleh menarik kembali barang pinjamannya itu. Demikian menurut Syafi’i dan Abu Hanifah. Yakni orang yang meminjamkan itu boleh mencabut kembali barang yang dipinjamkan, apabila ia menghendakinya.
Sedang menurut Malik yang terkenal, ia tidak boleh mencabut kembali sebelum diambil manfaatnya oleh peminjam. Apabila ia mensyaratkan suatu masa tertentu, maka masa tersebut harus dipenuhi. Sedang apabila ia tidak mensyaratkan suatu masa tertentu, maka ia harus memenuhi suatu masa yang oleh orang banyak dianggap pantas untuk pinjaman tersebut. Silang pendapat dalam hal ini berpangkal pada adanya kemiripan antara akad yang mengikat dan akad yang tidak pada pinjaman.
D . Hukum Pinjam-Meminjam
Hukum meminjamkan adalah sesuatu yang sunah, seperti tolong menolong dengan yang lain. Kadang-kadang menjadi wajib, seperti meminjamkan kain kepada orang yang terpaksa dan meminjamkan pisau untuk menyembelih binatang yang hampir mati. Juga kadang-kadang haram, kalau yang dipinjamkan itu akan dipergunakan untuk sesuatu yang haram. Kaidah : “jalan menuju sesuatu hukumnya sama dengan yang dituju”.
Ada yang meminjamkan (mu’ir), syaratnya yaitu:
Seorang ahli (berhak) berbuat kebaikan kehendaknya. Anak kecil dan orang yang dipaksa tidak sah meminjamkan.
 Manfaat barang yang dipinjamkan dimiliki oleh yang meminjam, dan barang (zat) dimiliki oleh yang meminjamkan (mu’ir).
Ada ynag meminjam (musta’ir), yaitu hendaklah orang yang ahli (berhak) menerima kebaikan. Anak kecil dan orang gila tidak sah meminjam sesuatu karena ia tidak ahli (berhak) menerima pinjaman.
Ada barang yang dipinjam, syaratnya yaitu:
Barang yang benar-benar ada manfaatnya.
Sewaktu diambil manfaatnya, zatnya tetap (tidak rusak)
Ada lafadz, tetapi menurut sebagian orang sah denga tidak berlafadz.

Pengertian Ijarah Dan Dasar Hukumnya

1.    Pengertian Sewa-Menyewa (Ijarah)
Sewa menyewa atau dalam bahasa Arab berasal dari kata:   ,أجرyang sinonimnya:
أكريYang artinya: menyewakan, seperti dalam kalimat:  أجر الشئ (menyewakan sesuatu)
أعطاه أجرا  yang artinya: ia memberinya upah, seperti dalam kalimat: أجر فلانا على كذا  (ia memberikan kepada si fulan upah sekian).
أثابه yang artinya: memberinya pahala, seperti dalam kalimat: أجر الله عبده  (allah memberikan pahala kepada hamba-Nya).


Al Fikri mengartikan ijarah menurut bahasa dengan: الكراة أو بيع المنفعة   yang artinya: sewa-menyewa atau jual beli manfaat. Sedangkan Sayid Sabiq mengemukakan:
الإجارة مشتقة من الأجر وهو العوض, ومنه سمي الثواب أجرا
Ijarah diambil dari kata “Al-Ajr” yang artinya ‘iwadh (imbalan), dari pengertian ini pahala (tsawab) dinamakan ajr (upah/pahala).
Dalam pengertian istlilah, terhadap perbedaan pendapat dikalangan ulama.
1.)    Menurut Hanafiah
الإجارةعقد على المنفعة بعوض هومال
Ijarah adalah akad atas manfaat dengan imbalan berupa harta.
2.)    Menurut malikiyah
الإجارة .... عةد يفيد تمليكا منافع شئ مباح مدمة معلومة بعوض غير ناشئ عن المنفعة
Ijarah..... adalah akad yang memberikan hak milik atas manfaat suatu barang yang mubah untuk masa tertentu dengan imbalan yang bukan berasal dari manfaat.
3.)    Menurut syafi’iyah
وحد عقد الإجارة عقد على منعة مقصودة معلومة قابلة للبذل ولإباحة بعوض معلوم
Definisi akad Ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang dimaksud dan tertentu yang bisa diberikan dan dibolehkan dengan imbalan tertentu.
4.)    Menurut Hanbaliyah
وهي عقد على المنافع تنعد بلفظ الإجارة والكرأ وما في معناهما
Ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang bisa sah dengan lafal ijarah dan kara’ dan semacamnya.
Dari definisi tersebut dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya tidak ada perbedan yang prinsip di antara para ulama dalam mengartikan Ijarah atau sewa-menyewa adalah akad atas manfaat dengan imbalan. Dengan demikian, obyek sewa-menyewa adalah manfaat atas suatu barang (bukan barang).
Dasar Hukum Ijarah
Para fuqaha sepakat bahwa ijarah merupakan akad yang diperbolehkan oleh syara’, kecuali beberapa ulama, seperti Abu Bakar Al-Asham, Isma’il bin ‘Aliyah, Hasan Al-Bashri, Al-Qasyani, Nahrawani, dan Ibnu Kisan. Mereka tidak memperbolehkan Ijarah, karena ijarah adalah jual beli manfaat, sedangkan manfaat pada saat dilakukan akad, tidak bisa diserahterimakan. Setelah beberapa waktu barulah manfaat itu dapat dinikmati sedikit demi sedikit. Sedangkan sesuatu yang tidak ada pada waktu pada waktu akad tidak boleh diperjual belikan.  Akan tetapi, pendapat tersebut disanggah oleh ibn Rush, bahwa manfaat walaupun pada waktu akad belum ada, tetapi pada galibnya ia (manfaat) akan terwujud, dan inilah yang menjadi perhatian serta pertimbangan syara’.
Alasan Jumhur Ulama tentang dibolehkannya ijarah adalah,
a.    QS. Ath-thalaq (65) ayat 6:
أَسۡكِنُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ سَكَنتُم مِّن وُجۡدِكُمۡ وَلَا تُضَآرُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُواْ عَلَيۡهِنَّۚ وَإِن كُنَّ أُوْلَٰتِ حَمۡلٖ فَأَنفِقُواْ عَلَيۡهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ فَإِنۡ أَرۡضَعۡنَ لَكُمۡ فَ‍َٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأۡتَمِرُواْ بَيۡنَكُم بِمَعۡرُوفٖۖ وَإِن تَعَاسَرۡتُمۡ فَسَتُرۡضِعُ لَهُۥٓ أُخۡرَىٰ ٦
Artinya : “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”.
b.    QS. Al-Qashash (28) ayat 26 dan 27:
قَالَتۡ إِحۡدَىٰهُمَا يَٰٓأَبَتِ ٱسۡتَ‍ٔۡجِرۡهُۖ إِنَّ خَيۡرَ مَنِ ٱسۡتَ‍ٔۡجَرۡتَ ٱلۡقَوِيُّ ٱلۡأَمِينُ ٢٦ قَالَ إِنِّيٓ أُرِيدُ أَنۡ أُنكِحَكَ إِحۡدَى ٱبۡنَتَيَّ هَٰتَيۡنِ عَلَىٰٓ أَن تَأۡجُرَنِي ثَمَٰنِيَ حِجَجٖۖ فَإِنۡ أَتۡمَمۡتَ عَشۡرٗا فَمِنۡ عِندِكَۖ وَمَآ أُرِيدُ أَنۡ أَشُقَّ عَلَيۡكَۚ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ ٢٧
Aritnya : (26). Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. (27). Berkatalah dia (Syu´aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik"
c.    Hadis Aisyah
عن عروة بن الزبير أن عائسة رضي الله عنها زوج النبي صلى الله عليه وسلم قالت : واستأجر رسول الله صلى الله علىه وسلم وأبو بكر رجلا من بني الديل هاديا خريتا وهو على دين كفار قريش فدفعا إليه راحلتيهما ووعداه غار ثوربعد ثلاث ليل براحلتيهما صبح ثلث.
Dari Urwah bin Zubair bahwa sesungguhnya Aisyah ra.istri nabi SAW berkata : Rasulallah SAW dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki dari suku bani Ad Dayl, penunjuk jalan yang mahir, dan ia masih memeluk agama orang kafir quraisy. Nabi dan Abu Bakar kemudian menyerahkan kepadanya kendaraan mereka, dan mereka berdua menjanjikan kepadanya untuk bertemu di Gua Syur dengan kendaraan mereka setelah tiga hari pada pagi hari selasa. (H.R Bukhori)


C.    Syarat Dan Rukun Ijarah
1.    Rukun Ijarah
Menurut Ulama Hanafiyah, rukun ijarah adalah ijab dan Qabul, antara lain dengan menggunakan kalimat :  al-ijarah, al-isti’jar, al-iktira’ dan al-ikra’.
Adapun menurut Jumhur Ulama , rukun ijarah ada 4 yaitu:
1.    ‘Aqid ( orang yang akad).
2.    Shigat akad.
3.    Ujrah (upah).
4.    Manfaat
2.    Syarat Ijarah
Syarat ijarah terdiri dari empat macam, sebagaimana syarat dalam jual beli, yaitu syarat Al-inqad ( terjadinya akad), syarat an-nafadz ( syarat pelaksanaan akad), syarat sah, dan syarat lazim.
a)    Syarat Terjadinya Akad
Syarat Al-inqad ( terjadinya akad) berkaitan dengan akid, zat akad dan tempat akad.    Sebagaimana telah dijelaskan dalam jual beli, menurut Ulama Hanafiyah, ‘Aqid ( orang yang melakukn akad  disyaratkan harus berakal dan mumayyiz ( minimal 7 tahun), serta tidak disyaratkan harus baligh. Akan tetapi, jika bukan barang miliknya sendiri, akad ijrah anak mumayyiz, dipandang sah bila diijinkan walinya.
    Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah mensyaratkan orang yang akad harus mukallaf, yaitu baligh dan berakal, sedangkan  anak mumayyiz belum dapat dikategorikan ahli akad .
b)    Syarat Pelaksanaan ( an-nafadz)
 Agar ijarah terlaksana, brang harus dimiliki oleh ‘aqid (orang yang akad) atau ia yang memiliki kekuasaan penuh untuk akad  (ahliah). Dengan demikian, ijarah al-fudhul (ijarah yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan atau tidak diijinkan oleh pemiliknya) tidak dapat menjadkan adanya ijarah.
c)    Syarat Sah Ijarah
Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan ‘aqid  (orang yang akad),  ma’qud alaih (barang menjadi objek akad),  ujrah (upah) dan zat akad (nafs al-aqad), yaitu:
a.    Adanya keridhaan dari kedua pihak yang akad
Syarat ini didasarkan pada fir man Allah SWT QS. An-Nisa:29
“hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakai harta sesamamu dengan jalan yang batal, kecuali dengan jalan perniagaan yang yang dilakukan suka sama suka.”
    Ijarah dapat dikategorikan jual beli sebab mengandung unsur pertukaran harta. Syarat ini berkaitan dengan ‘aqid.
b.    Ma’qud ‘Alaih bermanfaat dengan jelas
Adanya kejelasan pada ma’qud alaih (barang) menghilangkan pertentangan diantara ‘aqid. Diantara cara untuk mengetahui ma’qud ‘alaih adalah dengan menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang.
c.    Ma’qud alaih (barang) harus dapat memenuhi secara syara’
Dipandang tidak sah menyewa hewan untuk untuk berbicara dengan anaknya , sebab hal itu sangat mustahil atau dipandang tidak sah menyewa seseorang perempuan yang sedang haid untuk membersihkan mesjid sebab diharamkan syara’.
d.    Kemanfaatan benda dibolehkan menurut Syara’.


DISKUSI dan TANYA JAWAB dalam MATERI INI.
Bagaimana pandangan islam tentang jual beli yang menggunakan sistem MLM?
Bagaimana jual beli dengan online shop?
Boleh atau tidak misalnya anak yang belum baligh (di bawah 15 tahun) melakukan jual beli?
Jawaban:
Kembali lagi kepada hukum awal jual beli bahwasanya hukum jual beli itu mubah (boleh), ada ulama yang mengatakan sistem MLM itu boleh tapi ada juga yang mengatakan kalau sistem MLM itu tidak boleh, karena sekarang sistem MLM sudah banyak versi, selama jual beli itu adil, jelas barangnya, tidak ada pendzoliman itu diperbolehkan tetapi sebaliknya jika itu mengandung penipuan, tidak adil seperti sistem piramid maka hukum mubah itu batal. Sebagai kehati-hatian kita lebih baik menghindarkan jual beli yang berbau MLM.
 Oline shop diperboleh kan dengan catatan pembeli itu tahu kejelasan produknya dan bagaimana keterangan produknya dan si penjual tidak memalsukan keterangan-keterangan produk yang dijualnya (penipuan), maka jual beli tersebut sah.
Menurut Imam Syafi’i itu tidak diperbolehkan tetapi menurut Imam Hanafi boleh asal ada walinya atau yang mendampinginya seperti orang tua atau kakak. Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut kita harus saling menghormatinya bukan berdebat tentang mana yang lebih benar. Mana pendapat yang diambil itu tergantung kepada situasi dan kondisi saat melakukan jual beli.
DOWNLOAD PPT JUAL BELI
Jualbeli.pptx

Related Posts:

0 comments:

Post a Comment