LENGKAP FIQIH MUAMALAH
PENGERTIAN, RUANG LINGKUP dan DASAR
HUKUM
- Pengertian Fiqih Muamalah
Fiqih muamalah terdiri dari
dua kata yaitu fiqih yang secara etimologi berasal dari kalimat الفهم (paham) seperti perkataan فَقَّهْتُ الدَّرْسَ (saya paham
pelajaran itu), sedangkan menurut terminologi fiqh artinya pengetahuan
tentang hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang
telah dewasa dan berakal sehat yang diambil dari dalil-dalil yang terinci.
Kemudian Muamalah yang secara etimologi adalah bentuk masdar dari kata عمل yang artinya saling bertindak, saling
mengenal dan saling beramal[1].
Sedangkan secara terminologi Muamalah ialah segala aturan
agama yang mengatur hubungan antara sesama manusia (perkawinan, perwalian,
warisan, wasiat, hibah perdagangan, perburuan, perkoperasian dll), dan antara
manusia dan alam sekitarnya,tanpa memandang agama atau asal usul kehidupannya
(makanan, minuman, mata pencaharian, dan cara memperoleh rizki dengan cara yang
dihalalkan atau yang diharamkan, dll)[2].
a. Pengertian
fiqih muamalah dalam arti luas
Menurut Ad-Dimyati “Fiqih
muamalah adalah aktifitas untuk menghasilkan dunawi menyebabkan keberhasilan
masalah ukhrawi.” Menurut Muhammad Yusuf Musa “Fiqih muamalah adalah
peraturan-peraturan Allah yang diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat
untuk menjaga kepentingan manusia”. Dalam kedua pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa fiqih muamalah adalah aturan-aturan (hukum) Allah yang
ditunjukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan duniawi atau sosial
kemasyarakatan.
b. Pengetian
fiqih muamalah dalam arti sempit (khusus)
Fiqih
Muammalah dalam arti sempit :
Menurut
Hudhari Beik, muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling
menukar manfaat.
Menurut
Idris Ahmad adalah aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia
dalam usahanya mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang
paling baik.
Jadi pengertian Fiqih muamalah dalam arti sempit lebih menekankan pada
keharusan untuk menaati aturan-aturan Allah yang telah ditetapkan untuk
mengatur hubungan antara manusia dengan cara memperoleh, mengatur, mengelola,
dan mengembangkan mal (harta benda).
- Pembagian Fiqih Muamalah
Menurut Ibn Abidin, fiqih muamalah dalam arti luas dibagi menjadi lima
bagian:
1)
Muawadhah
Maliyah (Hukum Perbendaan)
2)
Munakahat
(Hukum Perkawinan)
3)
Muhasanat
(Hukum Acara)
4)
Amanat
dan ‘Aryah (Hukum Pinjaman)
5)
Tirkah
(Hukum Peninggalan)
Sedangkan menurut Al-Fikri
dalam kitab Al-Muamalah Al-Madiyah wa Al-Adabiyah membagi Fiqh Muamalah menjadi
dua bagian :
a.
AL-MUAMALAH
AL-MADIYAH
Al-Muamalah Al-Madiyah adalah muamalah yang mengakaji segi objeknya,
yakni benda. Sebagian ulama berpendapat bahwa Al-Muamalah Al-Madiyah bersifat
kebendaan, yakni benda yang halal, haram, dan syubhat untuk dimiliki, diperjual
belikan, atau diusahakan, benda yang menimbulkan kemadharatan dan mendatangkan
kemaslahatan bagi manusia, dll.
b.
AL-MUAMALAH AL-ADABIYAH
Al-Muamalah Al-Adabiyah
adalah muamalah ditinjau dari segi cara tukar-menukar benda, yang sumbernya
dari pancaindra manusia, sedangkan unsur-unsur penegaknya adalah hak dan
kewajiban, seperti jujur, hasut, iri, dendam, dll. Al-Muamalah Al-Adabiyah
adalah aturan-aturan Allah yang ditinjau dari segi subjeknya (pelakunya) yang berkisar
pada keridhaan kedua pihak yang melangsungkan akad, ijab kabul, dusta, dll. Pada prakteknya, Al-Muamalah Al-Madiyah
dan Al-Muamalah Al-Adabiyah tidak dapat dipisahkan.
- Ruang Lingkup Fiqih Muamalah
Berdasarkan pembagian fiqih
muamalah di atas, ruang lingkupnya pun terbagi menjadi dua:
1. Ruang
lingkup mualamah madiyah
- Jual beli (Al-bai’ at-Tijarah)
- Gadai (rahn)
- Jaminan/ tanggungan (kafalah)
- Pemindahan utang (hiwalah)
- Jatuh bangkit (tafjis)
- Batas bertindak (al-hajru)
- Perseroan atau perkongsian (asy-syirkah)
- Perseroan harta dan tenaga (al-mudharabah)
- Sewa menyewa tanah (al-musaqah al-mukhabarah)
- Upah (ujral al-amah)
- Gugatan (asy-syuf’ah)
- Sayembara (al-ji’alah)
- Pembagian kekayaan bersama (al-qisamah)
- Pemberian (al-hibbah)
- Pembebasan (al-ibra’), damai (ash-shulhu)
- beberapa masalah mu’ashirah (mukhadisah) : bunga bank, asuransi, kredit, dan masalah lainnnya.
- Pembagian hasil pertanian (musaqah)
- Kerjasama dalam perdagangan (muzara’ah)
- pembelian barang lewat pemesanan (salam/salaf)
- Pihak penyandang dana meminjamkan uang kepada nasabah/ Pembari modal (qiradh)
- Pinjaman barang (‘ariyah)
- Sewa menyewa (al-ijarah)
- Penitipan barang (wadi’ah)
2. Ruang
lingkup muamalah adabiyah
Hal-hal yang termasuk
Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah ijab kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan
dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan,
pemalsuan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indera manusia yang ada
kaitannya dengan peredaran harta.
- Dasar Hukum
Sumber Hukum :
Sumber-sumber fiqih secara
umum berasal dari dua sumber utama, yaitu dalil naqli yang berupa Al-Quran dan
Al-Hadits, dan dalil aqli yang berupa akal (ijtihad)
1. Al-Qur’an
Al-Quran adalah kitab Allah
yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dengan bahasa arab yang memiliki
tujuan kebaikan dan perbaikan manusia, yang berlaku di dunia dan akhirat.
Al-Quran merupakan referensi utama umat islam, termasuk di dalamnya masalah
hukum dan perundangundangan.
2. Al-Hadits
Al-Hadits adalah segala yang
disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa perkataan,perbuatan,maupun
ketetapan. Al-Hadits merupakan sumber fiqih kedua setelah Al-Quran yang berlaku
dan mengikat bagi umat islam.
3. Ijtihad (Ijma’ dan Qiyas)
Ijma’ adalah kesepakatan
mujtahid terhadap suatu hukum syar’i dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah
SAW. Suatu hukum syar’i agar bisa dikatakan sebagai ijma’, maka penetapan
kesepakatan tersebut harus dilakukan oleh semua mujtahid, walau ada pendapat
lain yang menyatakan bahwa ijma’ bisa dibentuk hanya dengan kesepakatan
mayoritas mujtahid saja.
Sedangkan qiyas adalah kiat
untuk menetapkan hukum pada kasus baru yang tidak terdapat dalam nash
(Al-Qur’an maupun Al-Hadist), dengan cara menyamakan pada kasus baru yang sudah
terdapat dalam nash.
- Prinsip Hukum
a.
Pada dasarnya segala
bentuk muamalah adalah mubah.
اَلأَصْلُ فِى الْأَشْيَاءِ (فِى
الْمُعَامَلاَتِ) الإِبَاحَةُ، إِلاَّ مَا دَلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى خِلاَفِهِ
" Pada dasarnya (asalnya) pada segala sesuatu (pada persoalan mu’amalah) itu hukumnya mubah, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan atas makna lainnya.”
b. Mumalalah dilakukan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur-unsur
paksaan.
يآيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ
تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ
تِجَارَةً عَنْ تَرَضٍ مِنْكُمْ وَلاَ تَقْتُلُوْا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ
بِكُمْ رَحِيْمًا.-النساء: 29
" Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh diri kamu sekalian, sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’: 29)
c.
Muamalah
dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari mudharat
dalam bermasyarakat.
عَنْ عُباَدَةَ ابْنِ صَامِتِ أَنَّ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنْ لاَ ضَرَرَ وَلاَ
ضِرَارَ. -رواه أحمد وابن ماجة
“Dari Ubadah bin Shamit; bahwasanya Rasulullah saw menetapkan tidak boleh
berbuat kemudharatan dan tidak boleh pula membalas kemudharatan”. (HR. Ahmad
dan Ibnu Majah)
Dalam
kaidah fiqhiyah juga disebutkan;
اَلضَّرَرُ يُـزَالُ
“Kemudharatan harus dihilangkan”
d.
Muamalah
dilaksanakan dengan memelihara nilai-nilai keadilan, menghindari unsur-unsur
penganiayaan dalam pengambilan kesempatan.
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوْا فَأْذَنُوْا
بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوْسُ
أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُوْنَ وَلاَ تُظْلَمُوْنَ. -البقرة: 279
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah,
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari
mengambil riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak
(pula) dianiaya”. (QS. Al-Baqarah: 279)
- Ciri Fiqih Muamalah
Ciri utama fiqih muamalah adalah adanya kepentingan keuntungan material
dalam proses akad dan kesepakatannya. Berbeda dengan fiqh ibadah yang dilakukan
semata-mata dalam rangka mewujudkan ketaatan kepada Allah tanpa ada tendensi
kepentingan material.
Tujuannya adalah dalam
rangka menjaga kepentingan orang-orang mukallaf terhadap harta mereka, sehingga
tidak dirugikan oleh tindakan orang lain dan dapat memanfaatkan harta miliknya
itu untuk memenuhi kepentingan hidup mereka.[4]
0 comments:
Post a Comment