PageNavi Results No.

Saturday, February 4

FIQIH MUAMALAH "Pengertian, Ruang Lingkup dan Dasar Hukum"


LENGKAP FIQIH MUAMALAH
PENGERTIAN, RUANG LINGKUP dan DASAR HUKUM

  1. Pengertian Fiqih Muamalah
Fiqih muamalah terdiri dari dua kata yaitu fiqih yang secara etimologi berasal dari kalimat الفهم (paham) seperti perkataan فَقَّهْتُ الدَّرْسَ (saya paham pelajaran itu), sedangkan menurut terminologi fiqh artinya pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat yang diambil dari dalil-dalil yang terinci. Kemudian Muamalah yang secara etimologi adalah bentuk masdar dari kata عمل yang artinya saling bertindak, saling mengenal dan saling beramal[1]. Sedangkan secara terminologi Muamalah ialah segala aturan agama yang mengatur hubungan antara sesama manusia (perkawinan, perwalian, warisan, wasiat, hibah perdagangan, perburuan, perkoperasian dll), dan antara manusia dan alam sekitarnya,tanpa memandang agama atau asal usul kehidupannya (makanan, minuman, mata pencaharian, dan cara memperoleh rizki dengan cara yang dihalalkan atau yang diharamkan, dll)[2].
a.       Pengertian fiqih muamalah dalam arti luas
Menurut Ad-Dimyati “Fiqih muamalah adalah aktifitas untuk menghasilkan dunawi menyebabkan keberhasilan masalah ukhrawi.” Menurut Muhammad Yusuf Musa “Fiqih muamalah adalah peraturan-peraturan Allah yang diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia”. Dalam kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa fiqih muamalah adalah aturan-aturan (hukum) Allah yang ditunjukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan duniawi atau sosial kemasyarakatan.
b.      Pengetian fiqih muamalah dalam arti sempit (khusus)
Fiqih Muammalah dalam arti sempit :
Menurut Hudhari Beik, muamalah adalah semua akad yang membolehkan manusia saling menukar manfaat.
Menurut Idris Ahmad adalah aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan cara yang paling baik.
Jadi pengertian Fiqih muamalah dalam arti sempit lebih menekankan pada keharusan untuk menaati aturan-aturan Allah yang telah ditetapkan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan cara memperoleh, mengatur, mengelola, dan mengembangkan mal (harta benda).
  1. Pembagian Fiqih Muamalah
Menurut Ibn Abidin, fiqih muamalah dalam arti luas dibagi menjadi lima bagian:
1)                 Muawadhah Maliyah (Hukum Perbendaan)
2)                  Munakahat (Hukum Perkawinan)
3)                  Muhasanat (Hukum Acara)
4)                  Amanat dan ‘Aryah (Hukum Pinjaman)
5)                  Tirkah (Hukum Peninggalan)
Dari pembagian diatas, yang merupakan disiplin ilmu tersendiri adalah munakahat dan tirkah[3].
Sedangkan menurut Al-Fikri dalam kitab Al-Muamalah Al-Madiyah wa Al-Adabiyah membagi Fiqh Muamalah menjadi dua bagian :
a.       AL-MUAMALAH AL-MADIYAH
Al-Muamalah Al-Madiyah adalah muamalah yang mengakaji segi objeknya, yakni benda. Sebagian ulama berpendapat bahwa Al-Muamalah Al-Madiyah bersifat kebendaan, yakni benda yang halal, haram, dan syubhat untuk dimiliki, diperjual belikan, atau diusahakan, benda yang menimbulkan kemadharatan dan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia, dll.
b.      AL-MUAMALAH AL-ADABIYAH
Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah muamalah ditinjau dari segi cara tukar-menukar benda, yang sumbernya dari pancaindra manusia, sedangkan unsur-unsur penegaknya adalah hak dan kewajiban, seperti jujur, hasut, iri, dendam, dll. Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah aturan-aturan Allah yang ditinjau dari segi subjeknya (pelakunya) yang berkisar pada keridhaan kedua pihak yang melangsungkan akad, ijab kabul, dusta, dll. Pada prakteknya, Al-Muamalah Al-Madiyah  dan Al-Muamalah Al-Adabiyah tidak dapat dipisahkan.
  1. Ruang Lingkup Fiqih Muamalah
Berdasarkan pembagian fiqih muamalah di atas, ruang lingkupnya pun terbagi menjadi dua:
1.      Ruang lingkup mualamah madiyah
      • Jual beli (Al-bai’ at-Tijarah)
      • Gadai (rahn)
      • Jaminan/ tanggungan (kafalah)
      • Pemindahan utang (hiwalah)
      • Jatuh bangkit (tafjis)
      • Batas bertindak (al-hajru)
      • Perseroan atau perkongsian (asy-syirkah)
      • Perseroan harta dan tenaga (al-mudharabah)
      • Sewa menyewa tanah (al-musaqah al-mukhabarah)
      • Upah (ujral al-amah)
      • Gugatan (asy-syuf’ah)
      • Sayembara (al-ji’alah)
      • Pembagian kekayaan bersama (al-qisamah)
      • Pemberian (al-hibbah)
      • Pembebasan (al-ibra’), damai (ash-shulhu)
      • beberapa masalah mu’ashirah (mukhadisah) : bunga bank, asuransi, kredit, dan masalah lainnnya.
      • Pembagian hasil pertanian (musaqah)
      • Kerjasama dalam perdagangan (muzara’ah)
      • pembelian barang lewat pemesanan (salam/salaf)
      • Pihak penyandang dana meminjamkan uang kepada nasabah/ Pembari modal (qiradh)
      • Pinjaman barang (‘ariyah)
      • Sewa menyewa (al-ijarah)
      • Penitipan barang (wadi’ah)

2.      Ruang lingkup muamalah adabiyah
Hal-hal yang termasuk Al-Muamalah Al-Adabiyah adalah ijab kabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pihak, hak dan kewajiban, kejujuran pedagang, penipuan, pemalsuan, dan segala sesuatu yang bersumber dari indera manusia yang ada kaitannya dengan peredaran harta.
  1. Dasar Hukum
            Sumber Hukum :
Sumber-sumber fiqih secara umum berasal dari dua sumber utama, yaitu dalil naqli yang berupa Al-Quran dan Al-Hadits, dan dalil aqli yang berupa akal (ijtihad)
1. Al-Qur’an
Al-Quran adalah kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW dengan bahasa arab yang memiliki tujuan kebaikan dan perbaikan manusia, yang berlaku di dunia dan akhirat. Al-Quran merupakan referensi utama umat islam, termasuk di dalamnya masalah hukum dan perundangundangan.
2. Al-Hadits
Al-Hadits adalah segala yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa perkataan,perbuatan,maupun ketetapan. Al-Hadits merupakan sumber fiqih kedua setelah Al-Quran yang berlaku dan mengikat bagi umat islam.
3. Ijtihad (Ijma’ dan Qiyas)
Ijma’ adalah kesepakatan mujtahid terhadap suatu hukum syar’i dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW. Suatu hukum syar’i agar bisa dikatakan sebagai ijma’, maka penetapan kesepakatan tersebut harus dilakukan oleh semua mujtahid, walau ada pendapat lain yang menyatakan bahwa ijma’ bisa dibentuk hanya dengan kesepakatan mayoritas mujtahid saja.
Sedangkan qiyas adalah kiat untuk menetapkan hukum pada kasus baru yang tidak terdapat dalam nash (Al-Qur’an maupun Al-Hadist), dengan cara menyamakan pada kasus baru yang sudah terdapat dalam nash.
  1. Prinsip Hukum
                        a. Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah.
اَلأَصْلُ فِى الْأَشْيَاءِ (فِى الْمُعَامَلاَتِ) الإِبَاحَةُ، إِلاَّ مَا دَلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى خِلاَفِهِ   

" Pada dasarnya (asalnya) pada segala sesuatu (pada persoalan mu’amalah) itu hukumnya mubah, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan atas makna lainnya.”
b.  Mumalalah dilakukan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur-unsur paksaan.
يآيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَضٍ مِنْكُمْ وَلاَ تَقْتُلُوْا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا.-النساء: 29

" Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh diri kamu sekalian, sesungguhnya Allah adalah maha penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’: 29)
c.       Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari mudharat dalam bermasyarakat.
عَنْ عُباَدَةَ ابْنِ صَامِتِ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنْ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ. -رواه أحمد وابن ماجة
Dari Ubadah bin Shamit; bahwasanya Rasulullah saw menetapkan tidak boleh berbuat kemudharatan dan tidak boleh pula membalas kemudharatan”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Dalam kaidah fiqhiyah juga disebutkan;
اَلضَّرَرُ يُـزَالُ
Kemudharatan harus dihilangkan”
d.      Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai-nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan dalam pengambilan kesempatan.
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوْا فَأْذَنُوْا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوْسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُوْنَ وَلاَ تُظْلَمُوْنَ. -البقرة: 279
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari mengambil riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (QS. Al-Baqarah: 279)
  1. Ciri Fiqih Muamalah
Ciri utama fiqih muamalah adalah adanya kepentingan keuntungan material dalam proses akad dan kesepakatannya. Berbeda dengan fiqh ibadah yang dilakukan semata-mata dalam rangka mewujudkan ketaatan kepada Allah tanpa ada tendensi kepentingan material.
Tujuannya adalah dalam rangka menjaga kepentingan orang-orang mukallaf terhadap harta mereka, sehingga tidak dirugikan oleh tindakan orang lain dan dapat memanfaatkan harta miliknya itu untuk memenuhi kepentingan hidup mereka.[4]



[1] . Prof. DR. Rachmat Syafe’i dalam bukunya FIQIH MUAMALAH
[2] . Muhammad Syauqi, MA.Pd
[3] . Prof. DR. Rachmat Syafe’i dalam bukunya FIQIH MUAMALAH
[4] . Muhammad Syauqi, MA.Pd

Related Posts:

0 comments:

Post a Comment