PENDAHULUAN
Materi ini meliputi pembahasan Fiqih Jinayah tentang Hudud dan
ketentuan sanksinya. Yang mana dalam pembahasanya dicantumkan nash Al-Qur’an
dan Hadits. Mulai dari pengertian Hudud, masalah-masalah hudud, hukuman atau
sanksi yang diberikan kepada pelaku jarimah hudud. Jinayah adalah pelanggaran
atas khamsu dharuriyyah (yaitu lima yang
mendasar). Adapun macam-macam khamsu dharuriyyah antara lain hifdzul
nafsi (menjaga jiwa), hifdzul ‘aqli (menjaga akal), hifdzul maali
(menjaga harta), hifdul nasli (menjaga keturunan), hifdul diin (menjaga
agama). Kenapa agama berada diposisi paling akhir? Bukankah agama harusnya
berada pada urutan paling awal? Karena manusia harus terjaga jiwanya,
ada jiwa tidak mati, harus berakal, bukan seperti orang gila karena orang gila
tidak dikenai hukum syarak. Dalam hal ini semoga makalah ini bisa memberikan pelajaran serta
pengetahuan bagi kita semua mengenai tindak kejahatan dan sanksi yang
diberikan, agar kita mengetahu mana hukuman yang sesuai untuk pelaku jarimah. Dan mudah-mudahan
makalah ini bisa mejadi bahan ajaran mata kuliah Fiqih jinayat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Hudud
Hudud secara
etimologi merupakan jamak dari had yang artinya pembatas antara dua
benda. Sedangkan menurut terminologi hudud adalah tindak kejahatan yang sanksi
hukumannya telah ditetapkan secara pasti oleh Allah dan atau Rasul-Nya.
Termasuk ke dalam kelompok ini adalah tindak pidana.
B.
Delik
Hukuman Jarimah Al-Hudud
Kitabullâh dan sunnah Rasul-Nya sudah
menetapkan hukuman-hukuman tertentu bagi sejumlah tindak kejahatan tertentu yang
disebut jarâimu al-hudûd (delik hukuman kejahatan), yang meliputi kasus;
perzinahan, tuduhan berzina tanpa bukti yang akurat, pencurian, mabuk-mabukan,
muhârabah (pemberontakan dalam negara Islam dan pengacau keamanan), murtad, dan
perbuatan melampui batas lainnya.
1.
Zina
Zina adalah peristiwa hubungan kelamin (sexual
intercross) dengan cara memasukan alat vital pria ke dalam alat vital
wanita yang bukan istrinya. Adapun perbuatan itu dikatakan sebagai zina maka
harus memiliki beberapa bukti, yaitu sebagai berikut :
a.
Adanya saksi
Perbuatan zina harus dibuktikan dengan
adanya saksi yang berjumlah empat orang laki-laki, beragama islam, adil, dan
dapat dipercaya.
وَالَّتِى يَأْتِيْنَ الْفَحِشَةَ مِنْ نِّسَائِكُمْ
فَا سْتَشْهِدُ وْا عَلَيْهِنَّ أَرْ بَعَةً مِنْكُمْ
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,
hendaklah empat orang saksi di antara kamu yang menyaksikan.” (QS. An-Nisa' (4) : 15)
b.
Adanya pengakuan
Jarimah zina dapat ditetapka dengan adanya pengakuan si pelaku. Imam Abu
Hanifah dan Imam Ahmad menyaratkan pengakuan ini harus berulang empat kali,
karena dianalogikan kepada empat orang saksi, juga atas hadits riwayat Bukhari
dan Muslim dari Abu Hurairah bahwa seseorang telah menghadap Rasulullah SAW, di
suatu masjid yang mengaku telah berbuat zina. Namun, Rasulullah berpaling
daripadanya. Pengakuan tersebut dikemukakan orang itu berulang-ulang hingga
empat kali. Akan tetapi menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i, pengakuan tersebut
cukup satu kali saja, karena pengakuan itu merupakan suatu berita, dan berita
tidak diperlukan pengulangan. Dasarnya adalah ungkapan hadits itu juga yang
menyatakan : “Bila orang itu mengaku, maka rajamlah”.
c.
Adanya kehamilan
Jika seseorang wanita hamil di luar nikah, dan ia sendiri tidak mengaku
bahwa dirinya dipaksa melakukan zina dengan kawan jenisnya, maka ia dikenakan
had zina. Jika terbukti bahwa kehamilanya adalah karena dipaksa (diperkosa),
maka gugurlah had zina baginya. Dasarnya adalah berdasarkan firman Allah dalam
QS. An-Nur (24): 33 dan Al-An’am (6) : 119, yang dipertegas dengan hadits Nabi
SAW :
رُفِعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَاءُ وَالنِّسْيَانُ
وَمَا اسْتُكْرِ هُوْ ا عَلَيْهِ
“Allah memaafkan umatku yang melakukan sesuatu karena keliru
(tidak sengaja), lupa dan terpaksa.” (HR. Ibnu Majah dari Ibnu Abbas)
Islam telah menentukan cara penyaluran
naluri seks melalui lembaga perkawinan. Oleh sebab itu, penyaluran naluri seks
di luar perkawinan yang sah adalah bertentangan dengan cara yang ditentukan
islam. Itulah sebabnya zina dilarang keras dalam islam. Sebagaimana firman
Allah :
وَلَا
تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’ (17) : 32)
Dalam ayat
lain diungkapkan tentanf ancaman terhadap pelaku zina sebagai berikut :
الزَّانِيَةُ
وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا
تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ
“Perempuan yang
berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,
dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS.
An-Nur (24) : 2)
Perzinaan bukanlah kejahatan umum. Oleh karena itu, perzinaan tidak
dapat dituntut oleh penuntut umum yang mewakili masyarakat. Orang yang berhak
menuntut hanyalah pihak yang dirugikan. Itulah sebabnya, dalam KUHP delik
perjinahan termasuk delik aduan dengan ancaman hukuman yang sangat ringan.
Oleh sebab itu, pelaksanaan atau eksekusi hukuman terhadap pelaku
perzinaan, baik dalam bentuk rajam maupun dera dilakukan oleh hakim atau
petugas yang ditentukan secara terbuka tapa ada belas kasihan lagi. Adapun
sanksi atau hukuman perbuatan zina adalah sebagai berikut :
a. Rajam
Rajam adalah hukuman yang dikenakan kepada pelaku zina, laki-laki maupun
perempuan yang telah menikah (muhshan), yang dilakukan dengan cara
melempari pelaku dengan batu kecil hingga meninggal. Dasarnya adalah hadits
yang mengatakan : “jika laki-laki dan perempuan yang sudah menikah, maka
rajamlah keduannya.” (Al-Shan’ani, subul As-Salam, jilid IV, Kairo, 1960:8).
Demikian pula perkataan Umar bin Khaththab : “sesungguhnya Allah
telah mengutus Muhammad SAW, dengan hak dan diturunkan Al-Qur’an kepadanya,
yang didalanya terdapat perintah rajam. Kami telah membacanya, mengamatinya,
serta memahaminya. Rasulullah SAW, telah melaksanakan ukuman rajam, demikian
pula kami sesudahnya. Aku takut jika nantinya manusia akan ada yang berkata
‘kami tidak menemukan ayat rajam dalam Al-Qur’an’, membuat mereka sesat karena
meninggalkan perintah Al-Qur’an. Sesungguhnya rajam adalah hak yang harus
ditegakkan bagi pelaku zina, baik laki-laki maupun perempuan yang telah menikah
jika telah ada bukti yang jelas, atau si perempuan hamil, atau ada penakuan.” (HR.
Abu Daud).
Demikianlah pendapat mayoritas ulama tentang hukuman rajam. Namun,
menurut golongan khawarij, hukuman yang berlaku bagi pelaku zina adalah dera (jalad)
sesuai ketentuan QS. An-Nur (24) : 2)
b. Dera (jalad)
Berdasarkan hadits Muslim, pelaku zina yang belum menikah dikenai
hukuman dera 100 kali serta diasingkan selama setahun. Pelaksanaan hukuman zina
dilakukan didepan umum agar pelaku jera dan masyarakat tidak mengikuti
perbuatan pelaku zina.
2.
Minuman
keras (khamr)
Secara harfiyah khamr berarti tutup. Sedangkan menurut istilah khamr adalah
jenis minuman yang membuat peminumnya mabuk, atau tertutup nalar berpikirnya, atau
terganggu kesadaranya. Khamr diharamkan dalam islam, motif kekharamnya adalah :
a.
Merupakan perbuatan
dosa
Firman Allah :
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ ۖ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ
وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا ۗ (٢١٩)
“Mereka bertanya kepadamu
tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang
besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya". (QS. Al-Baqarah (2) : 219)
b. Merupakan perbuatan yang melampaui batas
Firman Allah :
...... وَكُلُوْا
وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِ فُوْاۚ إِنَّهُۦ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ
“Makan dan minumlah dan jangan melampaui batas,
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampauibatas.” (QS. Al-A’raf (7) : 31)
c. Merusak nalar
Firman Allah :
يَٓأَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوْا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ
سُكَارٰى حَتّٰ تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ ...
“Wahai
orang-orang yang beriman. Janganlah lakukan shalat, jika kalian dalam keadaan
mabuk, hingga kalian memahami kata-kata yang kalian ucapkan.” (QS. An-Nisa’ (4) : 43)
d.
Merupakan
perbuatan setan
Firman
Allah dalam QS. Al-Maidah (5) : 90, yang sebagaimana artinya :
“Hai orang-oran yang beriman,
sesungguhnya meminum khamr, berjudi, berkurban untuk berhala, mengundi nasib
dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan.”
e.
Minuman
yang haram, sedikit atau banyak tetap haram
Peringatan Rasulullah SAW :
كُلُّ شَرَابٍ أسْكَرَ فَهُوَ حَرَامٌ
“Setiap meminum yang memabukan
adalah haram.” (HR.
Bukhari)
Adapun sanksi yang diterapkan Nabi SAW, kepada peminumnya adakalanya 40
kali dera dan kadang-kadang kurang dari itu. Bagi peminum yang berulang kali
minum, ia dijatuhi hukuman 40 kali dera. Bagi sebagian ulama, ada yang
menambahkan hingga 80 kali, dianalogikan dengan delik tuduhan zina dengan
asumsi bahwa 40 kali yang kedua dihitung sebagai takzir. Hukuman dera
tidak boleh diberikan ketika pelaku masih dalam keadaan mabuk, mengingat
hukuman itu sebagai pelajaran agar yang bersangkutan jera.
3.
Pencurian
(As-Sariqah)
Pada
umumnya, ulama mengartikan pencuriaan dengan rumusan berikut :
اَلسَّرِقَهُ
هِيَ آخَذَ الْمَالَ المَتَّقْوَ مَلْكَ لِلْغَيْرِ فِى حِرْزِ مِثْلِهِ
خُحْيَةً.....
“Pencuriaan adalah mengambil harta orang lain yang bernilai secara
diam-diam di tempat yang tersimpan.”
Padahal islam telah menetapkan suatu ketentuan bahwa dalam hal
seseorang mendapatkan dan mengonsumsi sesuatu yang di anugrahkan Allah harus di
lakukan dengan cara halal dan baik sebagaimana firman Allah :
وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ
حَلَالًا طَيِّبًا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari
apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu
beriman kepada-Nya.” (QS.
Al- Maidah (5) : 88)
Lebih tegas lagi firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً
عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
بِكُمْ رَحِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah
kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”(QS. An-Nisa’ (4) : 29)
Berdasarkan kedua ayat ini, maka segala bentuk
pencurian,termasuk korupsi adalah haram karena merugikan bahkan mengancam rasa
aman orang lain, oleh sebab itu pelakunya diancam potong tangan firman Allah :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا
أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ
حَكِيمٌ
”Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.”
(QS. AL-Maidah (5) : 38)
Adapun
unsur dan syarat pengenaan hukuman had pada pelaku pencurian, jika memnuhi
empat unsur berikut :
a.
Tindakan mengambil harta orang lain dilakukan secara
diam-diam atau sembunyi-sembunyi;
b.
Benda yang diambil adalah harta berharga;
c.
Benda yang diambil adalah harta milik orang lain;
d.
Tindakan mengambil harta orang lain dilakukan dengan sengaja.
Sebuah kejahatan pencurian menurut Wahbah Al-Zuhaili, tindak
kejahatan pencurian baru dianggap terbukti jika telah memenuhi salah satu dari
dua pembuktian, yaitu : adanya dua orang saksi dan adanya pengakuan (ikrar)
dari pelaku pencurian.
Dari cara pembuktian pertama,
jika dari dua saksi itu, hanya atu orang yang benar-benar melihat tindak
kejahatan tersebut, sedangkan yang seorang lagi hanya mendengar dari orang
lain, maka pembuktian ini tidak sah. Namun, jika dari kasus tersebut terdapat
pengaduan dari pihak korban, maka pembuktian itu sah.
Menyangkut pembuktian kedua,
ada kelompok yang menyaratkan agar pengakuan (ikrar) itu diucapkan dua
kali, walaupun kelompok lainnya menganggap cukup satu kali. Konsekuensinya jika
pengakuan pencurian tersebut hanya diucapkan sekali, maka ia tdak dikenai
hukuman had, malainkan hukuman takzir saja. Namun, demikian adanya pengaduan
dari pihak korban pencurian merupakan suatu keharusan.
Adapun pengguguran hukuman
had dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain :
a.
Pihak
korban membantah pengakuan dari pelaku pencurian atau kesaksian para saksi;
b.
Pihak
korban memaafkan pelaku; (Kalangan Syi’ah Zaidiyah)
c.
Pihak
pelaku pencurian membatalkan pengakuan dengan berdasarkan pembuktian
d.
Pihak
pelaku pencurian mengembalikan barang curian sebelum pengaduan sampai ke
pengadilan
e.
Pihak
korban pencurian menghadiahkan barang yang dicuri pelaku ke pengadilan.
f.
Pihak
pelaku pencurian mengklaim bahwa barang yang “dicurinya” adalah
miliknya. Namun, hal ini harus dibuktikan kebenarannya.
4.
Perampokan
(Hirabah)
Pengambilan harta di lakukan dengan cara terang-terangan dan di
sertai kekerasan tindakan ini termasuk dharar atau membahayakan ,sedangkan
menurut ajaran islam adalah
menghilangkan segala sesuatu yang bersifat membahayakan sebagaimana ungkapan hadis Rasulullah : Laa
dharaara wa laa dhiraar (tidak boleh
ada kerusakan dan tidak boleh membuat kerusakan), dan kaidah : Al-Dharar
yuzaal (setiap tindak perusakan harus dihilangkan). Orang yang melakukan
hirabah di kenakan hukuman ta’zir, sebagai hukuman terhadap tindak kejahatan
yang tidak di kenakan qishas dan hudud.
Dasar
hukum tentang larangan terhadap tindakan hirabah ini ada pada firman Allah :
وَابْتَغِ
فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ
الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ
فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ (٧٧)
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al-Qashas (28) : 77)
Lebih lanjut
menyangkut dasar ancaman terhadap pelaku hirabah adalah sebagaimana
firman Allah :
إِنَّمَا
جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ
فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ
وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ
خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ (٥٥)
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang
memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah
mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan
bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian
itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka
beroleh siksaan yang besar.” (Al-Maidah (5) : 33)
Dari ayat diatas dapat disimpulkan beberapa bentuk tindakan
hirabah dengan sanksi hukuman yang diberlakukan terhadap pelakunya :
a.
Pengganggu di jalanan namun tidak melakukan perampasan atau
pembunuhan, hanya menimbulkan ketakutan pada pengguna jalan, maka diancaman
hukuman yang paling ringan yaitu dibuang dari lingkup masyarakat (penjara);
b.
Pengacauan yang disertai dengan pengambilan barang secara
paksa dan terang-terangan maka pelaku
perampokan diberikan hukuman berupa potong tangan dan kaki secara silang;
c.
Tindak kejahatan disertai pembunuhan tanpa perampasan. Kejahatan
ini di ancam hukuman hudud.
d.
Tindak pengacauan baik di rumah dan di jalanan disertai
dengan perampasan barang, bahkan perkosaan serta pembunuhan kejahatan ini
tergolong kejahatan tertinggi. Ancaman hukumanya bagi pelaku disalib selama 3
hari dan hukuman mati.
Adapun pembatalan hukuman bagi pelaku hirabah jika
terjadi beberapa hal, antara lain :
a.
Pelakunya menarik kembali pengakuanya, sedangkan pengakuan
itu merupakan alat bukti satu-satunya;
b.
Saksi atau para saksi yang telah memberikan kesaksiaanya
menarik kembali kesaksiaanya;
c.
Pelaku tindak hirabah bertobat sebelum ia tertangkap. Hal ini
berdasarkan pada ketentuan Allah dalam QS. Al-Maidah (5) : 34 yang artinya : “Kecuali
bagi orang-orang yang bertaubat sebelum kalian menangkap mereka. Maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha pengampun Maha penyayang.”
5.
Pemberontakan (Al-Baqhy)
Pemberontakan atau makar sebagaimana dikemukakan
oleh Wahbah Al-Zuhaili adalah “Melakukan perlawana terhadap penguasa yang
sah dengan mengerahkan kekuatan atas suatu kebijaksanaanya karena berbeda
paham.”
Pemberontakan atau makar merupakan tindakan
yang terlarang sesuai dengan firman Allah :
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى
الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ ۚ
فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَإِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا
بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang
beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang
satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar
perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia
telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu
berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah,
supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat (49) : 9-10)
Sebuah tindakan dikatan sebagai suatu
pemberontakan apabila masuk kriteria sebagi berikut :
a.
Menentang pemerintahan yang sah, yaitu penguasa yang diterima
oleh mayoritas umat, melalui baiah (pengangkatan resmi). Hal ini dapat
dipahami dari sabda Nabi SAW: “Siapa yang mendatangi kalian, padahal urusan
kalian telah diserahkan pada seorang pemimpin (yang sah), yang hendak
memecah-belah jamaah kalian, maka bunuhlah dia.” (HR. Muslim)
Adapun
penguasa yang sah atau adil adalah penguasa yang berpegang teguh kepada
ketentuan syarak, tidak mendurhakai Allah sebagaimana penegasan Nabi SAW :
لَا طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
“Tiada kewajiban untuk mematuhi peguasa yang mendurhakai Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
b. Pemberontakan yang dilakukan oleh sekelompok orang
di pimpin oleh orang berpengaruh;
c. Pemberontakan yang di lakukan atas dasar alasan
atau ideologi tertentu;
d. Pemberontakan menggunakan kekuatan bersenjata;
e. Perlawana tersebut dilakukan dengan sadar dan di
ketahui secara pasti bahwa agama melarangnya;
f. Pemerintah memerangi mereka adalah dalam rangka
menghentikan tindakan makar yang mereka lakukan, oleh sebab itu pemerintah
tidak boleh mendahului mereka.
Jika
pihak pemberontak ada yang tertawan, mereka tidak boleh dibunuh, dan harta
merekapun tidak boleh dijadikan harta rampasan. Hal ini sesuai berdasarkan
sabda Nabi SAW : “Ibnu Umar berkata : aku dengar Rasulullah SAW, bertanya
‘Bagaimana sanksi hukum dari Allah terhadap kelompok pemberontak terhadap
penguasa?’ Para sahabat menjawab : ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu. Lalu
Beliau menjelaskan : ‘Mereka yang terluka dan mereka yang tertawan tidak boleh
dibunuh, dan mereka yng melarikan diri jangan dicari. Serta harta benda mereka
jangan dirampas.” (HR. Bazzar dan Hakim)
6.
Murtad
Murtad atau riddah menurut Wahbah
Al-Zuhaili adalah : “Keluar dari islam menjadi kafir (sesudah beriman) baik
dengan niat ucapan ataupun perbuatan yang menyebabkan seseorang dikategorikan
kafir.”
Firman Allah :
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ
فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا
وَالْآخِرَةِ
“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari
agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia
amalannya di dunia dan di akhirat.” (QS. Al-Baqarah (2) : 217)
Seseorang yang dinyatakan murtad, jika
ia keluar dari islam baik dari tingkah lakunya, ucapanya,
maupun keyakinanya. Dari tingkah lakunya, orang tersebut dapat diketahui dari
perbuatannya yang melanggar syarak. Sedangkan dari ucapannya, orang tersebut
mengucapkan kata-kata yang tidak mengakui Tuhan. Dan dalam bentuk keyakinan,
misalnya orang tersebut menyatakan bahwa alam ini kekal, Tuhan itu seperti
makhluk bisa makan dan minum.
Adapun sanksi hukuman bagi perbuatan riddah keluar
dari islam diancam hukuman mati dan hukuman tambahan tidak mempunyai hak waris
dari keluarganya. Dasarnya adalah hadits Nabi SAW :
لَا يَرِثُ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ وَ
لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ
“Orang kafir tidak
mendapat hak waris dari orang islam, dan orang islam tidak mendapat hak waris
dari orang kafir.” (HR. Muslim)
Hukuman
pokok adalah hukuman mati (dibunuh). Rasulullah SAW, bersabda :
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ
“Siapa yang mengganti
agamanya, bunuhlah...” (HR. Bukhari)
Sebelum eksekusi dilaksanakan, orang yang murtad tersebut harus
diberi kesempatan bertaubat dalam jangka waktu 3 hari. Jika mau bertaubat, ia
akan dibebaskan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam menetukan sebuah hukum
tidak boleh dilakukan secara instan langsung memutuskan si A atau si B yang
bersalah, tetapi harus dibarengi dengan adanya saksi, bukti, serta pengakuan.
Dan harus sesuai dengan hukum yang berlaku, tidak boleh menghukum pelaku kejahatan dengan sewenang-wenang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Saleh Hassan, Kajian Fiqih Nabawi dan
Fiqih Kontemporer, Jakarta, 2008, PT. RAJAGRAFINDO PERSADA.
2. Diakses dari internet tanggal 21 Agustus
2017 :
b. https://tafsirq.com
0 comments:
Post a Comment