PageNavi Results No.

Monday, August 7

USHUL FIQIH "Hakim dan Hukum"





HAKIM DAN HUKUM
A.    Pendahuluan
Hukum syara’ itu adalah kehendak Allah tentang tingkah laku manusia mukallaf, maka dapat dikatakan bahwa pembuat hukum adalah Allah SWT. Ketentuan-Nya itu terdapat dalam kumpulan wahyu-Nya yang disebut Al-Quran. Dengan demikian ditetapkan bahwa Al-Quran itu sumber utama bagi hukum Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqh. Al-Quran itu membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya.

      Harus kita ketahui bahwa dalam kehidupan ini, kita sebagai muslim selaluberhubungan dan tidak pernah terlepas dari hukum syar’i. Karena hukum syar’i selalu melekat pada diri seorang muslim. Oleh karena itu, kita sebagai umat muslim perlu mengetahui apa itu hakim, hukum dan bagian-bagian dari hukum yang dijelaskan ilmu ushul fiqh.
Tujuan Makalah
Dengan membaca makalah ini, kita jadi tahu tentang pengertian Hakim, Hukum, dan bagian hukum menurut ilmu ushul fiqh dan juga perbedaanya.
Rumusan Masalah
1.      Apa definisi dari hakim ?
2.      Apa definisi dari Hukum ?
3.      Apa yang dimaksud hukum Taklifi dan macam-macamnya ?
4.      Apa yang dimaksud hukum wadh'I dan macam-macamnya ?
5.      Apa saja perbedaan dari Hukum taklifi dan hukum wadh'I ?








B.     HAKIM (Pembuat Hukum Allah SWT) HAKIM

1. Pengertian Hakim
Hakim adalah orang yang menjatuhkan putusan. Di antara muslimin tidak ada perbedaan bagi perbuatan mukallaf adalah Allah SWT, baik hukum mengenai perbuatan mukallaf itu telah di jelaskan secara langsung dalam nash yang di wahyukan kepada Rosul-Nya maupun yang di gambarkan kepada para mujtahid untuk mengeluarkan hukum dari tanda-tanda yang di tetapkannya.Oleh karena itu, mereka sepakat dalam memberikan pengertian tentang hukum syara’ adalah ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan atau ketetapan. Bila ditinjau dari segi bahasa, Hakim mempunyai dua arti, yaitu : Pertama : Pembuat Hukum yang menetapkan, memunculkan sumber hukum. Kedua : Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan.
Dari pengertian pertama tentang hakim di atas, dapat diketahui bahwa Hakim adalah Allah SWT. Dia-lah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang di titahkan kepada seluruh mukallaf. Dalam Islam, tidak ada syari’at, kecuali dari Allah SWT. Baik yang berkaitan dengan hukum-hukum taklif (Wajib, Sunah, Haram, Makruh, dan Mubah), maupun yang berkaitan dengan hukum Wadhi’ (Sebab, Syarat, Halangan, Sah, Batal, Fasid, Azimah, dan Rukhsah). Semua hukum diatas tersebut bersumber dari Allah SWT. melalui Nabi Muhammad Saw, maupun hasil ijtihad para mujtahid melalui berbagai teori instibath, seperti Qiyas, Ijma’, dan metode Instibath lainnya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah SWT.[1]
Para ulama Ushul Fiqih menetapkan kaidah : “Tidak ada  Hukum kecuali bersumber dari Allah Swt”. Dari pemahaman kaidah tersebut para ulama ushul fiqih mendefinisikan hukum sebagai titah Allah Swt, yang berkaitan denagan perbuatan orang mukallaf baik berupa tuntutan, pemilihan, maupun wadhi’. Diantara alasan ulama ushul fiqih untuk mendukung pernyataan diatas, yaitu sebagai berikut :
1)  Surat Al An’am 57
أِنِ الْحُكْمُ اِلَّا للهِ يَقُصُّ الْحَقُّ وَهُوَخَيْرُالْفَاصِلِيْنَ

"Menetapkan hukum itu hanya Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya, dan Dia pemberi keputusan yang paling baik” (Qs.Al-An’am:57)

2) Surat Al Maidah 44
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ
"Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa-apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir” (Qs.Al-Maidah:44)
3) Surat Al Maidah 49
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَه
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah”.
Sedangkan untuk pengertian yang kedua tentang hakim di atas, ulama’ ushul fiqih membedakannya sebagai berikut (Asy-Syaukani). Sebelum Nabi Muhammad Saw diangkat sebagai Rosul : Para ulama’ ushul fiqih berbeda-beda pendapatya tentang siapa yang menemukan, memperkenalkan, dan menjelaskan hukum sebelum di utusnya Muhammad sebagai Rosul. Sebagian ulama’ ushul fiqih dari golongan ahlussunah wal jama’ah berpendapat bahwa pada saat itu tidak ada hakim dan hukum syara’, sementara akal tidak mampu mencapainya. Oleh sebab itu, hakim adalah Allah SWT, dan yang menyingkap hukum dari hakim itu adalah syara’, namun syara’ belum ada. Pada saat nabi Muhammad Saw, belum diangkat menjadi Rosul adalahj Allah SWT, namun akal pun sudah mampu untuk menemukan hukum-hukum Allah SWT, dan menyingkap serta menjelaskan sebelum datangnya syara’.
Dikalangan ulama’ ushul fiqih persoalan yang cukup rumit tersebut di kenal dengan istilah “At-Tahsin Wa Al-Taqbih” yakni pernyataan bahwa sesuatu itu baik atau buruk. Setelah diangkatnya Nabi Muhammabd Saw, sebagai Rosul dan menyebarkan dakwah Islam. Para ulama’ ushul fiqih sepakat bahwa hakim adalah syari’at yang turun dari Allah SWT, yang dibawa oleh Rosulullah Saw, apa yang telah di halalkan oleh Allah SWT, hukumnya adalah halal, begitu pula yang diharamkan oleh Allah SWT, maka hukumnya adalah haram. Juga di sepakati bahwa apa-apa yang di halalkan itu di sebut hasan (baik), di dalamnya terdapat kemaslahatan bagi manusia. Sedangkan segalka sesuatu yang di haramkan Allah SWT, di sebut  Qabih (Buruk), yang di dalamnya terdapat kemadaratan atau kerusakan bagi manusia. Hakim (yang menetapkan hukum) ialah Allah SWT,dan yang memberitahukan hukum-hukum Allah itu adalah Rasulnya.Kemudian setelah Rasul-rasul dibangkitkan dan sesudah sampai seruanya kepada yang dituju,maka syari’atlah yang menjadi hakim.



C.    Hukum

1.      Pengertian hukum
Mayoritas ulama mendefinisikan  hukum sebagai berikut :

خِطَابُ اللهِ الْمُتَعَلِّقُ بِأَفْعَالِ الْمُكَلَّفِيْنَ أِقْتِضَاءً أَوْتَخْيِيْرًا أَوْوَضْعًا
 “ Kalam Allah yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal sehat, baik bersifat imperatif , fakultatif dan menempatkan sesuatu sebagai sebab, syarat dan penghalang.”


Yang  dimaksud khittab Allah dalam definisi tersebut adalah semua bentuk dalil, baik Al-Qur’an, As-sunnah maupun yang lainnya, seperti ijma’ dan qiyas. Namun, para ulama ushul kontemporer  berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dalil disini hanya Al-Qur’an dan As-sunnah. Adapun ijma’ dan qiyas hanya sebagai metode menyingkapkan hukum dari Al-Qur’an dan sunnah tersebut.[2] Dengan demikian, sesuatu yang disandarkan pada kedua dalil tersebut tidak semestinya disebut sebagai sumber hukum. Menyangkut perbuatan mukallaf  adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa yang berakal sehat meliputi perbuatan hati, seperti niat dan perbuatan ucapan, seperti ghibah ( menggunjing) dan namimah ( mengadu domba ).
Yang dimaksud dengan imperative ( iqtidha) adalah tuntutan untuk melakukan sesuatu, yakni  memerintah atau tuntutan untuk meninggalkannya yakni melarang, baik tuntutan itu bersifat memaksa maupun tidak. Sedangkan yang dimaksud tahyir ( fakultatif ) adalah kebolehan memilih antara melakukan sesuatu atau meninggalkannya dengan posisi yang sama. Dan yang dimaksud Wadh’I ( mendudukkan sesuatu ) adalah memposisikan sesuatu sebagai penghubung umum, baik berbentuk sebab, syarat, maupun penghalang.

2.      Pembagian hukum
Bertitik pada definisi hukum diatas, maka hukum menurut ulama ushul terbagi  menjadi dua bagian, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i

a) Hukum Taklifi .
Hukum taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan.
1.                  Contoh firman Allah SWT . yang bersifat menuntut untuk  melakukan perbuatan:
وَأقِيْمُ الصَّلَاةَ وَأَتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيْعُوْا الرَّسُوْلَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ
Artinya :
dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan taatilah Rasul, supaya kamu diberi rahmat.”
( QS.An-Nur :56)
2.                  Contoh firman Allah SWT yang bersifat menuntut meninggalkan perbuatan :
وَلَاتَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

 janganlah kamu memakan harta diantara kamu jangan jalan batil.”
( QS.AL-baqarah : 188)

3.                  Contoh firman Allah SWT yang bersifat memilih (fakultatif).
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ اْلفَجْرِ
“dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”( QS. Al-Baqarah 187)

Bentuk- bentuk Hukum Taklifi
Terdapat dua golongan ulama dalam menjelaskan bentuk-bentuk hukum Taklifi : pertama, bentuk-bentuk hukum taklif  menurut jumhur ulama dan ulama ushul fiqih. Menurut mereka bentuk-bentuk hukum tersebut ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahan, dan tahrim. Kedua, bentuk-bentuk hukum Taklifi, seperti iftirad, ijab, nabd, ibahah, karahah tanzhiliyah, karahan tahrimiyah, dan tahrim.
Bentuk pertama
    a.      Ijab
Yaitu tuntutan Syar'I yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh di tinggalkan. Orang yang meninggalkan dikenai sanksi .Misalnya, dalam surat An-nur : 56
وَأَقِيْمُ الصَّلَوةَ وَأَتُوا الزَّكَوةَ
Artinya : " Dan dirikanlah Shalat dan tunaikan zakat…."(QS. AN-nur : 56 )
Dalam ayat ini, Allah menggunakan lafadz amr, yang menurut para ahli Ushul Fiqih melahirkan ijab, yaitu kewajiban mendirikan shalat dan membayar zakat. Apabila kewajiban ini dikaitkan dengan perbuatan orang Mukallaf, maka disebut dengan wujub., sedangkan perbuatan yang dituntut itu ( mendirikan shalat dan menunaikan zakat) disebut dengan wajib. Oleh sebab itu, istilah ijab, menurut Ulama Ushul Fiqih, terkait dengan khittab ( tuntutan) Allah, yaitu  ayat diatas, sedangkan wujub merupakan akibat dari khittab tersebut dan wajib adalah perbuatan yang dituntut oleh khittab Allah.


    b.      Nadb
Yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak melarang untuk meninggalkannya. Orang yang meninggalkan tidak dikenai hukuman. Yang dituntut untuk dikerjakan itu disebut mandub, sedangkan akibat dari tuntutan itu disebut nadb. Misalnya, dalam surat Al- Baqarah : 282, Allah SWT. Berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلَىَ اَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوْهُ
" Hai orang-orang beriman , apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya ….."( QS. Al- Baqarah : 282 )
Lafadz faktubuu ( maka tuliskanlah olehmu), dalam ayat itu ada dasarnya mengandung perintah ( wujud ), tetapi terdapat indikasi yang memalingkan perintah itu kepada nadb yang terdapat dalam kelanjutan dari ayat tersebut  ( Al-Baqarah :  283 )
فَاِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْتُمِنَ اَمَنَتَهُ
"Akan tetapi, apabila sebagian kamu mempercayai sebagai yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya…."( QS. Al-baqarah : 283)
Tuntunan wujub dalam ayat itu , berubah menjadi nadb. Indikasi yang membawa perubahan ini adalah lanjutan ayat, yaitu Allah menyatakan jika ada sikap paling mempercayai, maka penulisan utang tersebut tidak begitu penting. Tuntutan Allah seperti ini disebut dengan nadb, sedangkan perbuatan yang dituntut untuk dikerjakan itu, yaitu menuliskan utang piutang disebut mandub, dan akibat dari tuntutan Allah diatas disebut nadb.
    c.       Ibahah
Yaitu kitab Allah yang bersifat fakultatif, mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat secara sama. Akibat dari kitab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut Mubah. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Maidah : 2
وَاِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوْا
" Apabila kamu telah selesai melaksanakan ibahah haji, maka bolehlah kamu beburu ."(QS. Al-Maidah : 2)
Ayat ini juga menggunakan lafal amr ( perintah ) yang mengandung ibahah ( boleh) karena ada indikasi yang memalingkannya kepada hukum boleh. Khithab sperti ini disebut ibahah, dan akibat dari khithab ini. Juga disebut dengan ibahah. Sedangkan perbuatan yang boleh dipilih itu di tidasebut mubah.
d.   Karahah
            Yaitu tuntutan untuk meninggalkan  suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa. Dan seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu tidak dikenai hukuman. Akibat dari tuntutan seperti ini disebut juga Karahah. Karahah ini merupakan kebalikan dari nadb. Misalnya hadits Nabi Muhammad SAW :
اَبْغَضُ الْحَلَالِ عِنْدَ اللهِ الطَّلَاقُ
" Perbuatan halal yang paling di benci Allah adalah Talak" .(HR. Abu Daud, ibn.Majjah, Al-Baihaqi dan Hakim )
Khittab hadits ini disebut Karahan dan akibat dari khittab ini disebut juga dengan Karahah. Sedangkan perbuatan yang dikenai  Khittab itu disebut Makruh .
    e.   Tahrim
Yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yan g main maksa. Akibat dari tuntutan ini. Disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut itu disebut dengan haram. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-An'am 151 :
وَلَا تَقْتُلُوْا النَّفْسَ الَّتِى حَرَّمَ اللهُ
" jangan kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah".( QS.AL-An'am :151)
Khittab ( ayat ) ini disebut dengan Tahrim, akibat dari tuntutan ini disebut hurmah, dan perbuatan untuk ditinggalkan, yaitu membunuh jiwa seseorang, disebut dengan haram. Perbedaan istilah-isltilah yang dikemukakan para ahli Ushul Fiqih dalam hukum Taklifi ini, seperti untuk yang sifatnya  perintah ada tiga istilah, yaitu ijab, wujub , dan wajib, dan lainnya , disebabkan perbedaan sisi pandang pada persoalan tersebut. Apabila khittab (ayat) tersebut dilihat dari sisi Allah sebagai penuntut,  maka ayat yang mewajibkan shalat dituntut untuk melaksanakannya, maka tuntutan shalat dan zakat disebut wujub. Sedangkan istilah wajib merupakan sifat dari perbuatan Mukallaf yang di tuntut Allah. Namun demikian, istilah-istilah tersebut ( wujub ,wajib, tahrim, hurmah, haram, dsb ), merupakan tuntutan syar'I Allah dan Rasul-Nya.

b) Hukum Wadh’i
Hukum Wadh’I adalah firman Allah swt. Yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, atau penghalang dari sesuatu yang lain. Bila firman Allah menunjukkan atas kaitan sesuatu dengan hukum taklifi , baik bersifat sebagai sebab, atau syarat, atau penghalang maka ia disebut hukum wadh’I. di dalam ilmu hukum ia disebut pertimbangan hukum.
1.      Contoh firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab yang lain :
اَقِمِ الصَّلَوةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ
Dirikanlah shalat sesudah matahari tergelincir”.( QS.Al-isra : 78)
Pada ayat tersebut Artinya: tergelincirnya matahari dijadikan sebab wajibnya shalat.

2.      Contoh firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai syarat:
وَابْتَلُوْا الْيَتَامَى حَتَّى اِذَا بَلَغُوْا النِّكَاحَ
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin (dewasa).”( QS.An-nisa:6)
Ayat tersebut menunjukkan kedewasaan anak yatim menjadi syarat hilangnya perwalian atas dirinya.

3.      Contoh khittab Allah yang menjadikan sesuatu sebagai penghalang .
لَيْسَ لِلْقِتَالِ مِيْرَاثٌ
 “ pembunuh tidak mendapat waris.”
Hadits tersebut menunjukkan bahwa pembunuhan sebagai penghalang untuk mendapat warisan. Adapun bentuk – bentuk Hukum Wadh’i adalah :

a.   Sebab
Menurut bahsa adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain berarti jalan yang dapat menyampaikan kepada sesuatu tujuan. Menurut istilah adalah suatu sifat yang dijadikan syari’ sebagai tanda adanya hukum. Pengertian ini menunjukan bahwa sebab sama dengan illat, walaupun sebenarnya ada perbedaan antara sebab dengan illat tersebut.
Dengan demikian, terlihat keterkaitan hukum wadh’I ( dalam hal ini adalah sebab ) dengan hukum taklif, sekalipun keberadaan hukum wadh’I itu tidak menyentuh esensi hukum taklifi. Hukum wadh’I hanya sebagai petunjuk untuk pelaksanaan hukum taklif. Akan tetapi, para ulama Ushul fiqih menetapkan bahwa sebab itu harus muncul dari nash, bukan buatan manusia.
b.    Syarat
Yaitu sesuatu yang berada diluar hukum syara’, tetapi keberadaan hukum syara’ bergantung kepaanya. Apabila syarat tidak ada, hukumpun tidak ada, tetapi, adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syara’. Oleh sebab itu hukum taklifi tidak dapat diterapkan, kecuali, bila telah memenuhi syarat yang telah di tetapkan syara’.Misalnya wudhu’ adalah salah satu syarat sah shalat. Shalat tidak dapat dilaksanakan tanpa wudhu’. Akan tetapi, apbila seorang berwudhu’, ia tidak harus melaksanakan shalat.

c.    Mani ( penghalang)
Yaitu sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Misalnya, hubungan suami istri dan hubungan kekerbatan menyebabkan timbulnya hubungan kewarisan  ( waris mewarisi ). Apabila ayah wafat, istri dan anak mendapatkan pembagian warisna dari harta suami atau ayah yang wafat. Sesuai dengan pembgian masing-masing. Akan tetapi, hak mewarisi ini bisa terhalang apabila anak atau istri yang membunuh suami atau ayah yang wafat tersebut. ( HR. Bukhri Muslim).
Perbuatan membunuh itu merupakan mani’ ( penghalang)untuk mendapatkan pembagian warisan dari orang yang di bunuh. Disisi lain, adanya pembunuhan menyebabkan dilaksanakan hukuman qishash bagi pelaku pembunuhan. Akan tetapi dalam hubungan ayah dan anak atau istri dengan sdalam kasus pembunuhan diatas, maka hubungan keturunan ( perkawinan) menjadi penghalang dilksanakannya hukuman qishash.

D.    Perbedaan Hukum Taklifi dengan hukum Wadh’i
Ada beberapa perbedaan antara hukum al-taklifi dengan hukum wadh’I yang dapat disimpulkan dari pembagian hukum diatas, antara lain
1.        Dalam hukum al-taklif  terkandung tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan, atau memilih, berbuat atau tidk berbuat. Dalam hukum al-wadh’i hal ini tidak ada, melainkan mengandung keterkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu di antara keduanya bisa dijadikan sebab, penghalang , atau syarat.
2.        Hukum al-taklif merupakan tuntutan langsung pada Mukallaf untuk dilaksanakan, ditinggalkan, atau melakukan pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan hukum al-wadh’i tidak di maksudkan agar  langsung dilakukan mukallaf. Hukum al-wadh’i ditentukan syari’ agar dapat dilaksanakan hukum al-taklif . misalnya , zakat itu hukumnya wajib ( hukum al-taklif’) akan tetapi, kewajiban ini tidak bisa dilaksanakan apabila harta tersebut tidak mencapai ukuran satu nishab dan belum haul. Ukuran satu nishab merupakan penyebab ( hukum al-wadhi’) wajib zakat dan haul merupakan syarat ( hukum al-wadhi’) wajib zakat.

KESIMPULAN
1.      Al-Hakim adalah pihak yang menjatuhkan Hukum atau ketetapan. Tidak ada perselisihan diantara para Ulama bahwa hakikat Hukum Syar’i itu ialah Khithab Allah yang berhubungan dengan amal perbuatan Mukallaf yang berisi tuntutan, pilihan atau menjadikan sesuatu sebagai Sebab,Syarat atau Mani’ bagi sesuatu. Demikian juga tidak ada perselisihan diantara mereka bahwa satu-satunya Hakim adalah Allah SWT.
2.      Hukum ialah Khitab Allah yang menyebutkan segala perbuatan Mukallaf, baik Khitab itu mengandung perintah untuk dikerjakan atau larangan untuk ditinggalkan atau menjelaskan kebolehan, atau menjadikan sebab,atau penghalang bagi suatu Hukum. Hukum terbagi kedalam dua bagian, yaitu:
a. Hukum Taklifi, yang meliputi: Ijab, Nadbu, Tahrim, Karohah, dan Ibahah.
b. Hukum Wadh’i, yang meliputi: Sabab, Syarat, Mani, Syah, dan Fasid.







Daftar Pustaka
Buku Ilmu Ushul Fiqih oleh Prof. DR. Juhaya S. Praja (Guru besar IAIN Sunan gunung djati bandung).
Al-Baidhawi, Minhaj Al-Wushul “ilm Al-Ushul, Mesir: Al-Maktabah Al-Tijariyah Al-Kurba, 1326 H.
Al-Hajj, Ibn Amir,  At-takrir wa At-tahir, Mesir: Al-Mathba’ah Amariyah, 1316 H.
Al-Badrisi, Muhammad Zakariya, Ushul Fiqih, Mesir: Dar Al-Nahdah Al-‘Arobiyah, 1328 H.  






[1] Menurut kesepakatan  para Ulama’
[2] Menurut  Ali Hasaballah dan  Abd. Wahab Khalaf

Related Posts:

0 comments:

Post a Comment