HAKIM DAN HUKUM
A.
Pendahuluan
Hukum syara’ itu adalah kehendak
Allah tentang tingkah laku manusia mukallaf, maka dapat dikatakan bahwa pembuat
hukum adalah Allah SWT. Ketentuan-Nya itu terdapat dalam kumpulan wahyu-Nya
yang disebut Al-Quran. Dengan demikian ditetapkan bahwa Al-Quran itu sumber utama
bagi hukum Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqh. Al-Quran itu
membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung
dalam sebagian ayat-ayatnya.
Harus kita ketahui bahwa dalam kehidupan ini, kita sebagai muslim selaluberhubungan dan tidak pernah terlepas dari hukum syar’i. Karena hukum syar’i selalu melekat pada diri seorang muslim. Oleh karena itu, kita sebagai umat muslim perlu mengetahui apa itu hakim, hukum dan bagian-bagian dari hukum yang dijelaskan ilmu ushul fiqh.
Tujuan
Makalah
Dengan membaca makalah ini, kita
jadi tahu tentang pengertian Hakim, Hukum, dan bagian hukum menurut ilmu ushul
fiqh dan juga perbedaanya.
Rumusan
Masalah
1. Apa definisi dari hakim ?
2. Apa definisi dari Hukum ?
3. Apa yang dimaksud hukum Taklifi dan
macam-macamnya ?
4. Apa yang dimaksud hukum wadh'I dan
macam-macamnya ?
5. Apa saja perbedaan dari Hukum
taklifi dan hukum wadh'I ?
B.
HAKIM (Pembuat
Hukum Allah SWT) HAKIM
1. Pengertian Hakim
Hakim
adalah orang yang menjatuhkan putusan. Di antara muslimin tidak ada perbedaan bagi
perbuatan mukallaf adalah Allah SWT, baik hukum mengenai perbuatan mukallaf itu
telah di jelaskan secara langsung dalam nash yang di wahyukan kepada Rosul-Nya
maupun yang di gambarkan kepada para mujtahid untuk mengeluarkan hukum dari tanda-tanda
yang di tetapkannya.Oleh karena itu, mereka sepakat dalam memberikan pengertian
tentang hukum syara’ adalah ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan atau ketetapan. Bila ditinjau dari segi
bahasa, Hakim mempunyai dua arti, yaitu : Pertama : Pembuat Hukum yang
menetapkan, memunculkan sumber hukum. Kedua : Yang menemukan, menjelaskan,
memperkenalkan, dan menyingkapkan.
Dari
pengertian pertama tentang hakim di atas, dapat diketahui bahwa Hakim adalah
Allah SWT. Dia-lah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang di titahkan
kepada seluruh mukallaf. Dalam Islam, tidak ada syari’at, kecuali dari Allah
SWT. Baik yang berkaitan dengan hukum-hukum taklif
(Wajib, Sunah, Haram, Makruh, dan Mubah), maupun yang berkaitan dengan hukum Wadhi’ (Sebab, Syarat, Halangan, Sah,
Batal, Fasid, Azimah, dan Rukhsah). Semua
hukum diatas tersebut bersumber dari Allah SWT. melalui Nabi Muhammad Saw,
maupun hasil ijtihad para mujtahid melalui berbagai teori instibath, seperti Qiyas,
Ijma’, dan metode Instibath lainnya
untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah SWT.[1]
Para
ulama Ushul Fiqih menetapkan kaidah : “Tidak ada Hukum kecuali bersumber dari Allah Swt”. Dari
pemahaman kaidah tersebut para ulama ushul fiqih mendefinisikan hukum sebagai
titah Allah Swt, yang berkaitan denagan perbuatan orang mukallaf baik berupa
tuntutan, pemilihan, maupun wadhi’. Diantara alasan ulama ushul fiqih untuk
mendukung pernyataan diatas, yaitu sebagai berikut :
1)
Surat Al An’am 57
أِنِ الْحُكْمُ اِلَّا للهِ يَقُصُّ
الْحَقُّ وَهُوَخَيْرُالْفَاصِلِيْنَ
"Menetapkan
hukum itu hanya Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya, dan Dia pemberi
keputusan yang paling baik” (Qs.Al-An’am:57)
2) Surat Al Maidah 44
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُوْنَ
"Barang
siapa yang tidak memutuskan menurut apa-apa yang diturunkan Allah, maka mereka
adalah orang-orang yang kafir” (Qs.Al-Maidah:44)
3) Surat Al Maidah 49
وَأَنِ
احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَه
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara antara mereka
menurut apa yang diturunkan Allah”.
Sedangkan
untuk pengertian yang kedua tentang hakim di atas, ulama’ ushul fiqih
membedakannya sebagai berikut (Asy-Syaukani).
Sebelum Nabi Muhammad Saw diangkat sebagai Rosul : Para ulama’ ushul fiqih berbeda-beda pendapatya tentang siapa yang
menemukan, memperkenalkan, dan menjelaskan hukum sebelum di utusnya Muhammad
sebagai Rosul. Sebagian ulama’ ushul fiqih dari golongan ahlussunah wal jama’ah
berpendapat bahwa pada saat itu tidak ada hakim dan hukum syara’, sementara
akal tidak mampu mencapainya. Oleh sebab itu, hakim adalah Allah SWT, dan yang
menyingkap hukum dari hakim itu adalah syara’, namun syara’ belum ada. Pada saat nabi Muhammad Saw, belum
diangkat menjadi Rosul adalahj Allah SWT, namun akal pun sudah mampu untuk
menemukan hukum-hukum Allah SWT, dan menyingkap serta menjelaskan sebelum
datangnya syara’.
Dikalangan
ulama’ ushul fiqih persoalan yang cukup rumit tersebut di kenal dengan istilah “At-Tahsin
Wa Al-Taqbih” yakni pernyataan bahwa sesuatu itu baik atau buruk. Setelah
diangkatnya Nabi Muhammabd Saw, sebagai Rosul dan menyebarkan dakwah Islam. Para ulama’ ushul fiqih sepakat bahwa
hakim adalah syari’at yang turun dari Allah SWT, yang dibawa oleh Rosulullah
Saw, apa yang telah di halalkan oleh Allah SWT, hukumnya adalah halal, begitu
pula yang diharamkan oleh Allah SWT, maka hukumnya adalah haram. Juga di
sepakati bahwa apa-apa yang di halalkan itu di sebut hasan (baik), di dalamnya
terdapat kemaslahatan bagi manusia. Sedangkan segalka sesuatu yang di haramkan
Allah SWT, di sebut Qabih (Buruk), yang
di dalamnya terdapat kemadaratan atau kerusakan bagi manusia. Hakim (yang
menetapkan hukum) ialah Allah SWT,dan yang memberitahukan hukum-hukum Allah itu
adalah Rasulnya.Kemudian setelah Rasul-rasul dibangkitkan dan sesudah sampai
seruanya kepada yang dituju,maka syari’atlah yang menjadi hakim.
C.
Hukum
1.
Pengertian hukum
Mayoritas ulama
mendefinisikan hukum sebagai berikut :
خِطَابُ
اللهِ الْمُتَعَلِّقُ بِأَفْعَالِ الْمُكَلَّفِيْنَ أِقْتِضَاءً أَوْتَخْيِيْرًا
أَوْوَضْعًا
“
Kalam Allah yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal sehat, baik
bersifat imperatif , fakultatif dan menempatkan sesuatu sebagai sebab, syarat
dan penghalang.”
Yang dimaksud khittab Allah dalam definisi
tersebut adalah semua bentuk dalil, baik Al-Qur’an, As-sunnah maupun yang
lainnya, seperti ijma’ dan qiyas. Namun, para ulama ushul kontemporer berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dalil
disini hanya Al-Qur’an dan As-sunnah. Adapun ijma’ dan qiyas hanya sebagai
metode menyingkapkan hukum dari Al-Qur’an dan sunnah tersebut.[2]
Dengan demikian, sesuatu yang disandarkan pada kedua dalil tersebut tidak
semestinya disebut sebagai sumber hukum. Menyangkut perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia
dewasa yang berakal sehat meliputi perbuatan hati, seperti niat dan perbuatan
ucapan, seperti ghibah ( menggunjing) dan namimah (
mengadu domba ).
Yang dimaksud dengan imperative (
iqtidha) adalah tuntutan untuk melakukan sesuatu, yakni memerintah atau tuntutan untuk
meninggalkannya yakni melarang, baik tuntutan itu
bersifat memaksa maupun tidak. Sedangkan yang dimaksud tahyir ( fakultatif
) adalah kebolehan memilih antara melakukan sesuatu atau meninggalkannya dengan
posisi yang sama. Dan yang dimaksud Wadh’I ( mendudukkan sesuatu )
adalah memposisikan sesuatu sebagai penghubung umum, baik berbentuk sebab,
syarat, maupun penghalang.
2. Pembagian
hukum
Bertitik pada definisi hukum
diatas, maka hukum menurut ulama ushul terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum taklifi
dan hukum wadh’i
a)
Hukum Taklifi .
Hukum taklifi adalah firman
Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau
memilih antara berbuat dan meninggalkan.
1.
Contoh firman
Allah SWT . yang bersifat menuntut untuk
melakukan perbuatan:
وَأقِيْمُ
الصَّلَاةَ وَأَتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيْعُوْا الرَّسُوْلَ لَعَلَّكُمْ
تُرْحَمُوْنَ
Artinya :
“ dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan
taatilah Rasul, supaya kamu diberi rahmat.”
( QS.An-Nur :56)
2.
Contoh firman
Allah SWT yang bersifat menuntut meninggalkan perbuatan :
وَلَاتَأْكُلُوْا
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“ janganlah
kamu memakan harta diantara kamu jangan jalan batil.”
( QS.AL-baqarah : 188)
3.
Contoh firman
Allah SWT yang bersifat memilih (fakultatif).
وَكُلُوْا
وَاشْرَبُوْا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الْاَسْوَدِ مِنَ اْلفَجْرِ
“dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar.”( QS. Al-Baqarah 187)
Bentuk- bentuk Hukum
Taklifi
Terdapat
dua golongan ulama dalam menjelaskan bentuk-bentuk hukum Taklifi : pertama,
bentuk-bentuk hukum taklif menurut jumhur ulama dan ulama ushul fiqih.
Menurut mereka
bentuk-bentuk hukum tersebut ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahan,
dan tahrim. Kedua, bentuk-bentuk hukum Taklifi, seperti iftirad, ijab,
nabd, ibahah, karahah tanzhiliyah, karahan tahrimiyah, dan tahrim.
Bentuk pertama
a.
Ijab
Yaitu tuntutan Syar'I yang bersifat untuk melaksanakan
sesuatu dan tidak boleh di tinggalkan. Orang yang meninggalkan dikenai sanksi
.Misalnya, dalam surat An-nur : 56
وَأَقِيْمُ الصَّلَوةَ وَأَتُوا الزَّكَوةَ
Artinya : " Dan dirikanlah Shalat dan tunaikan
zakat…."(QS. AN-nur
: 56 )
Dalam ayat ini, Allah menggunakan lafadz amr, yang
menurut para ahli Ushul Fiqih melahirkan ijab, yaitu kewajiban mendirikan
shalat dan membayar zakat. Apabila kewajiban ini dikaitkan dengan perbuatan
orang Mukallaf, maka disebut dengan wujub., sedangkan perbuatan yang dituntut
itu ( mendirikan shalat dan menunaikan zakat) disebut dengan wajib. Oleh sebab
itu, istilah ijab, menurut Ulama Ushul Fiqih, terkait dengan khittab
( tuntutan) Allah, yaitu ayat diatas,
sedangkan wujub merupakan akibat dari khittab tersebut dan wajib
adalah perbuatan yang dituntut oleh khittab Allah.
b.
Nadb
Yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang
tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak
melarang untuk meninggalkannya. Orang yang meninggalkan tidak dikenai hukuman.
Yang dituntut untuk dikerjakan itu disebut mandub, sedangkan akibat dari
tuntutan itu disebut nadb. Misalnya, dalam surat Al- Baqarah : 282, Allah SWT.
Berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ اَمَنُوْا اِذَا تَدَايَنْتُمْ
بِدَيْنٍ اِلَىَ اَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوْهُ
" Hai orang-orang beriman , apabila kamu
bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya ….."(
QS. Al- Baqarah : 282 )
Lafadz faktubuu
( maka tuliskanlah olehmu), dalam ayat itu ada dasarnya mengandung perintah (
wujud ), tetapi terdapat indikasi yang memalingkan perintah itu kepada nadb yang terdapat dalam
kelanjutan dari ayat tersebut (
Al-Baqarah : 283 )
فَاِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى
اؤْتُمِنَ اَمَنَتَهُ
"Akan tetapi, apabila sebagian kamu mempercayai
sebagai yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya…."( QS. Al-baqarah : 283)
Tuntunan wujub dalam ayat itu , berubah menjadi nadb.
Indikasi yang membawa perubahan ini adalah lanjutan ayat, yaitu Allah
menyatakan jika ada sikap paling mempercayai, maka penulisan utang tersebut
tidak begitu penting. Tuntutan Allah seperti ini disebut dengan nadb, sedangkan
perbuatan yang dituntut untuk dikerjakan itu, yaitu menuliskan utang piutang
disebut mandub, dan akibat dari tuntutan Allah diatas disebut nadb.
c.
Ibahah
Yaitu kitab Allah yang bersifat fakultatif, mengandung
pilihan antara berbuat atau tidak berbuat secara sama. Akibat dari kitab Allah
ini disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut
Mubah. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Maidah : 2
وَاِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوْا
" Apabila kamu telah selesai melaksanakan ibahah
haji, maka bolehlah kamu beburu ."(QS. Al-Maidah : 2)
Ayat ini juga menggunakan lafal amr ( perintah ) yang
mengandung ibahah ( boleh) karena ada indikasi yang memalingkannya
kepada hukum boleh. Khithab sperti ini disebut ibahah, dan akibat dari khithab
ini. Juga disebut dengan ibahah. Sedangkan perbuatan yang boleh dipilih itu di
tidasebut mubah.
d.
Karahah
Yaitu
tuntutan untuk meninggalkan suatu
perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat
memaksa. Dan seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk
ditinggalkan itu tidak dikenai hukuman. Akibat dari tuntutan seperti ini
disebut juga Karahah. Karahah ini merupakan kebalikan dari nadb. Misalnya
hadits Nabi Muhammad SAW :
اَبْغَضُ الْحَلَالِ عِنْدَ اللهِ الطَّلَاقُ
" Perbuatan halal yang paling di benci
Allah adalah Talak" .(HR. Abu Daud, ibn.Majjah, Al-Baihaqi dan Hakim )
Khittab hadits ini disebut Karahan dan akibat dari khittab ini disebut juga dengan Karahah. Sedangkan
perbuatan yang dikenai Khittab itu
disebut Makruh .
e.
Tahrim
Yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan
dengan tuntutan yan g main maksa. Akibat dari tuntutan ini. Disebut hurmah dan
perbuatan yang dituntut itu disebut dengan haram. Misalnya, firman Allah dalam
surat Al-An'am 151 :
وَلَا
تَقْتُلُوْا النَّفْسَ الَّتِى حَرَّمَ اللهُ
" jangan kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan
Allah".(
QS.AL-An'am :151)
Khittab ( ayat ) ini disebut dengan Tahrim, akibat dari tuntutan ini
disebut hurmah, dan perbuatan untuk ditinggalkan, yaitu membunuh jiwa
seseorang, disebut dengan haram. Perbedaan istilah-isltilah yang dikemukakan
para ahli Ushul Fiqih dalam hukum Taklifi ini, seperti untuk yang sifatnya perintah ada tiga istilah, yaitu ijab, wujub
, dan wajib, dan lainnya , disebabkan perbedaan sisi pandang pada persoalan
tersebut. Apabila khittab (ayat) tersebut dilihat dari sisi Allah sebagai
penuntut, maka ayat yang mewajibkan
shalat dituntut untuk melaksanakannya, maka tuntutan shalat dan zakat disebut
wujub. Sedangkan istilah wajib merupakan sifat dari perbuatan Mukallaf yang di
tuntut Allah. Namun demikian, istilah-istilah tersebut ( wujub ,wajib, tahrim,
hurmah, haram, dsb ), merupakan tuntutan syar'I Allah dan Rasul-Nya.
b) Hukum Wadh’i
Hukum Wadh’I adalah
firman Allah swt. Yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, atau
penghalang dari sesuatu yang lain. Bila firman Allah menunjukkan atas kaitan
sesuatu dengan hukum taklifi , baik bersifat sebagai sebab, atau syarat,
atau penghalang maka ia disebut hukum wadh’I. di dalam ilmu hukum ia
disebut pertimbangan hukum.
1.
Contoh firman
Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab yang lain :
اَقِمِ الصَّلَوةَ
لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ
“Dirikanlah shalat sesudah matahari
tergelincir”.( QS.Al-isra : 78)
Pada ayat tersebut
Artinya: tergelincirnya matahari dijadikan sebab wajibnya shalat.
2. Contoh
firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai syarat:
وَابْتَلُوْا
الْيَتَامَى حَتَّى اِذَا بَلَغُوْا النِّكَاحَ
“Dan ujilah anak
yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin (dewasa).”(
QS.An-nisa:6)
Ayat tersebut
menunjukkan kedewasaan anak yatim menjadi syarat hilangnya perwalian atas
dirinya.
3. Contoh
khittab Allah yang menjadikan sesuatu sebagai penghalang .
لَيْسَ
لِلْقِتَالِ مِيْرَاثٌ
“ pembunuh
tidak mendapat waris.”
Hadits tersebut
menunjukkan bahwa pembunuhan sebagai penghalang untuk mendapat warisan. Adapun
bentuk – bentuk Hukum Wadh’i adalah :
a.
Sebab
Menurut bahsa adalah sesuatu yang
dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain berarti jalan yang dapat
menyampaikan kepada sesuatu tujuan. Menurut istilah adalah suatu sifat yang
dijadikan syari’ sebagai tanda adanya hukum. Pengertian ini menunjukan bahwa sebab
sama dengan illat, walaupun sebenarnya ada perbedaan antara sebab dengan
illat tersebut.
Dengan demikian, terlihat
keterkaitan hukum wadh’I ( dalam hal ini adalah sebab ) dengan hukum taklif,
sekalipun keberadaan hukum wadh’I itu tidak menyentuh esensi hukum taklifi.
Hukum wadh’I hanya sebagai petunjuk untuk pelaksanaan hukum taklif.
Akan tetapi, para ulama Ushul fiqih menetapkan bahwa sebab itu harus
muncul dari nash, bukan buatan manusia.
b.
Syarat
Yaitu sesuatu yang berada diluar
hukum syara’, tetapi keberadaan hukum syara’ bergantung kepaanya. Apabila
syarat tidak ada, hukumpun tidak ada, tetapi, adanya syarat tidak mengharuskan
adanya hukum syara’. Oleh sebab itu hukum taklifi tidak dapat diterapkan,
kecuali, bila telah memenuhi syarat yang telah di tetapkan syara’.Misalnya
wudhu’ adalah salah satu syarat sah shalat. Shalat tidak dapat dilaksanakan
tanpa wudhu’. Akan tetapi, apbila seorang berwudhu’, ia tidak harus
melaksanakan shalat.
c.
Mani’ ( penghalang)
Yaitu sifat yang keberadaannya
menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Misalnya, hubungan suami
istri dan hubungan kekerbatan menyebabkan timbulnya hubungan kewarisan ( waris mewarisi ). Apabila ayah wafat, istri
dan anak mendapatkan pembagian warisna dari harta suami atau ayah yang wafat.
Sesuai dengan pembgian masing-masing. Akan tetapi, hak mewarisi ini bisa
terhalang apabila anak atau istri yang membunuh suami atau ayah yang wafat
tersebut. ( HR. Bukhri Muslim).
Perbuatan membunuh itu merupakan
mani’ ( penghalang)untuk mendapatkan pembagian warisan dari orang yang di bunuh.
Disisi lain, adanya pembunuhan menyebabkan dilaksanakan hukuman qishash bagi
pelaku pembunuhan. Akan tetapi dalam hubungan ayah dan anak atau istri dengan sdalam
kasus pembunuhan diatas, maka hubungan keturunan ( perkawinan) menjadi
penghalang dilksanakannya hukuman qishash.
D. Perbedaan Hukum Taklifi dengan hukum
Wadh’i
Ada beberapa perbedaan antara hukum al-taklifi
dengan hukum wadh’I yang dapat disimpulkan dari pembagian hukum diatas,
antara lain
1.
Dalam hukum al-taklif
terkandung tuntutan untuk melaksanakan,
meninggalkan, atau memilih, berbuat atau tidk berbuat. Dalam hukum al-wadh’i
hal ini tidak ada, melainkan mengandung keterkaitan antara dua persoalan,
sehingga salah satu di antara keduanya bisa dijadikan sebab, penghalang ,
atau syarat.
2.
Hukum al-taklif
merupakan tuntutan langsung pada Mukallaf untuk dilaksanakan,
ditinggalkan, atau melakukan pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat.
Sedangkan hukum al-wadh’i tidak di maksudkan agar langsung
dilakukan mukallaf. Hukum al-wadh’i ditentukan syari’ agar
dapat dilaksanakan hukum al-taklif . misalnya , zakat itu hukumnya wajib
( hukum al-taklif’) akan tetapi, kewajiban ini tidak bisa dilaksanakan apabila
harta tersebut tidak mencapai ukuran satu nishab dan belum haul. Ukuran satu
nishab merupakan penyebab ( hukum al-wadhi’) wajib zakat dan haul merupakan
syarat ( hukum al-wadhi’) wajib zakat.
KESIMPULAN
1. Al-Hakim adalah pihak yang
menjatuhkan Hukum atau ketetapan. Tidak ada perselisihan diantara para Ulama
bahwa hakikat Hukum Syar’i itu ialah Khithab Allah yang berhubungan dengan amal
perbuatan Mukallaf yang berisi tuntutan, pilihan atau menjadikan sesuatu
sebagai Sebab,Syarat atau Mani’ bagi sesuatu. Demikian juga tidak ada
perselisihan diantara mereka bahwa satu-satunya Hakim adalah Allah SWT.
2. Hukum ialah
Khitab Allah yang menyebutkan segala perbuatan Mukallaf, baik Khitab itu
mengandung perintah untuk dikerjakan atau larangan untuk ditinggalkan atau
menjelaskan kebolehan, atau menjadikan sebab,atau penghalang bagi suatu Hukum.
Hukum terbagi kedalam dua bagian, yaitu:
a. Hukum Taklifi, yang meliputi:
Ijab, Nadbu, Tahrim, Karohah, dan Ibahah.
b. Hukum Wadh’i, yang meliputi: Sabab, Syarat,
Mani, Syah, dan Fasid.
Daftar
Pustaka
Buku Ilmu Ushul Fiqih oleh
Prof. DR. Juhaya S. Praja (Guru besar IAIN Sunan gunung djati bandung).
Al-Baidhawi, Minhaj Al-Wushul “ilm
Al-Ushul, Mesir: Al-Maktabah Al-Tijariyah Al-Kurba, 1326 H.
Al-Hajj, Ibn Amir, At-takrir wa At-tahir, Mesir:
Al-Mathba’ah Amariyah, 1316 H.
Al-Badrisi, Muhammad Zakariya, Ushul
Fiqih, Mesir: Dar Al-Nahdah Al-‘Arobiyah, 1328 H.
0 comments:
Post a Comment